Selasa, 21 Oktober 2008

MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

A. Latar Belakang Permasalahan

Salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah adalah matematika. Matematika merupakan ilmu yang bersifat universal yang mendasari perkembangan teknologi modern. Artinya, matematika mempunyai peranan yang sangat penting dalam berbagai disiplin ilmu serta memajukan daya pikir manusia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan yang pesat di bidang teknologi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang bilangan, aljabar, analisis, teori peluang. Untuk dapat menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak usia dini. Sehiggga berangkat pada persepsi tersebut mata pelajaran matematika diberikan kepada semua peserta didik sejak dari Sekolah Dasar (SD) untuk membekali siswa agar mempunyai kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta memiliki kemampuan bekerjasama.

Prestasi matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari laporan yang dipublikasikan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) menuliskan bahwa bahwa rata-rata skor matematika siswa tingkat 8 (tingkat II SLTP) di Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional dan berada pada ranking 34 dari 38 negara (Zainurie, 2007). Tidak hanya itu menurut Suryanto dan Somerset dalam Sahat Saragih (tt: 2), yang melakukan penelitanterhadap 16 SLTP pada beberapa propinsi di Indonesia menemukan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa sangat rendah, terutama pada soal-soal cerita matematika (aplikasi matematika).

Matematika memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan mendatang, tetapi dewasa ini mata pelajaran matematika masih menjadi momok bagi kebanyakan siswa. Menurut Imam Subandi penyebab matematika masih menjadi masalah bagi anak didik diantaranya adalah kurangnya minat belajar matematika siswa, siswa masih menganggap bahwa matematika itu sulit dan tidak menyenangkan, dan guru juga kurang bervariasi dalam menyajikan materi matematika. Sedangkan Menurut Zainurie (2007) penyebab siswa mengalami kesulitan belajar matematika adalah matematika mempunyai objek yang bersifat abstrak, Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Selain itu belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah. Sehingga kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real.

Pada bulan-bulan menjelang UAN dan UMPTN, adalah musimnya orang tua mulai mencemaskan anak didiknya. Kecemasan orang tua dikarenakan adanya ketakutan menerima kenyataan bahwa anaknya dinyatakan tidak lulus sekolah. Sehingga berangkat dari kecemasan tersebut orang tua mulai berpikir dengan mengikutsertakan anaknya ke bimbingan belajar.

Sementara itu, di pihak anak sendiri tidak terlihat ada kegelisahan atau kecemasan pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Sebagian besar anak didik memang ingin lulus UAN bahkan mereka juga mengharapkan untuk dapat diterima pada Universitas-universitas favorit, tetapi mereka tidak membayangkan bahwa persaingan yang harus dihadapinya sangat ketat.

Tidak adanya perasaan kegelisahan tersebut lebih terlihat lagi dengan tidak adanya persiapan yang serius. Sebagian besar anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), bahkan anak didik seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus tanpa harus bersusah payah untuk belajar.

Dengan kondisi tersebut, menunjukan bahwa minat anak terhadap pelajaran-pelajaran di sekolah terutama matematika sangat menurun. Sehingga perlu adanya cara untuk meningkatkan kembali motivasi mereka terhadap belajar matematika.

B. Kajian Pustaka

1. Motivasi belajar

Menurut M. Sobry Sutikno (2008: 1) motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi tercapainya tujuan. Motivasi belajar dapat diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan belajar dapat tercapai. Namun pada intinya motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sehingga motivasi belajar matematika adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang mempelajari matematika.

Motivasi terdiri dari dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang muncul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul sebagai akibat pengaruh dari luar individu.

Menurunnya motivasi belajar siswa terhadap pelajaran matematika, khususnya di sekolah-sekolah SMK, diantaranya:

a. Belajar di Dunia Usaha/Dunia Industri

Bagi siswa SMK Belajar di Dunia Usaha/Dunia Industri merupakan sebuah kewajiban. Lamanya pembelajaran di DU/DI tergantung pada kebijakan tiap-tiap sekolah. Beberapa SMK memberlakukan Belajar di Dunia Usaha/Dunia Industri selama 3 bulan, 6 bulan, bahkan adapula yang mencapai satu tahun. Waktu pemberangkatan (penerjunan) siswa ke Dunia Usaha/Dunia Industri tiap sekolah juga mempunyai kebijakan tersendiri. Beberapa SMK memberangkatkan siswa ke Dunia Usaha/Dunia Industri semenjak kelas X semester 2 akhir, kelas XI, bahkan ada beberapa siswa yang baru diberangkatkan ke DU/DI kelas III semester I awal.

Siswa selama berada di DU/DI tidak diperkenankan untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah, tetapi anak didik dituntut untuk mengikuti pola kehidupan di DU/DI. Otomatis selama siswa mengkuti belajar Dunia Usaha/Dunia Industri siswa tidak diperkenankan untuk mengikuti pemnebelajaran di sekolah.

b. Persepsi siswa terhadap matematika

Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi kebanyakan siswa, pelajaran yang menyebalkan, merasa pusing bila disuruh mengerjakan soal-soalnya dan sangat kesulitan untuk memahaminya. Bahkan tidak jarang saat pelajaran matematika serasa berada di gurun pasir yang panas tidak ada airnya. Tidak hanya itu matematika dipelesetkan menjadi matik-matian. Hal ini dikarenakan siswa selalu mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal-soal matematika walaupun soal yang diberikan oleh guru matematika masih tergolong sangat mudah seperti – 3 – 4.

Begitu pula persepsi siswa terhadap guru yang mengajar matematika. Rata-rata anak didik beranggapan bahwa guru matematika adalah seseorang yang galak, pemarah, suka memukul siswanya, wajahnya jelek, botak, selera humornya kurang bahkan tidak punya sama sekali, jika menjelaskan materi selalu mbulet-mbulet tidak ada rumus praktisnya dan jika memberikan nilai pasti pelit.

2. Realistic Mathematics Education (RME)

Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dapat dilakukan dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.

Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Sedangkan Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) .

Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu (1) Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri. Pembelajaran diawali dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks. (2) Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal. (3) Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. (4) Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

3. Karakteristik RME

Karakteristik RME adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Van den Heuvel-Panhuizen,1998).

a. Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”

Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah-masalah yang kontekstual atau “dunia nyata”, sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematikan dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000)

b. Menggunakan Model-model (Matematisasi)

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.

c. Menggunakan Produksi dan Konstruksi

Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.

d. Menggunakan Interaktif

Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

e. Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)

Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.

C. Pembahasan

1. Matematika Realistik (MR)

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran MR di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.

Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.

Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).

2. Pembelajaran Matematika Realistik (MR)

Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Dalam hal ini, guru hanya bertindak atau berperan sebagai fasilitator.

Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.

Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism). Siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.

Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention). Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah.

Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam pembelajaran matematika.

3. Bagaimana Implementasi Pembelajaran MR?

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR, berikut ini diberikan contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Pecahan di SD diinterpretasi sebagai bagian dari keseluruhan. Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian yang berukuran sama. Dalam hal ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang, dan model volume. Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide pempartisian suatu himpunan dari objek diskret.

Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke “situasi” informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).

Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan MR) di mana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.

4. Kaitan antara Pembelajaran MR dengan Pengertian

Kalau kita perhatikan para guru dalam mengajar matematika senantiasa terlontar kata “bagaimana, apa mengerti ?” Siswa pun biasanya buru-buru menjawab mengerti atau sudah. Siswa sering mengeluh seperti berikut, “Pak … pada saat di kelas saya mengerti penjelasan Bapak, tetapi begitu sampai di rumah saya lupa”, atau “Pak … pada saat di kelas saya mengerti contoh yang Bapak berikan , tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal latihan” Apa yang dialami oleh siswa pada ilustrasi di atas menunjukkan bahwa siswa belum mengerti atau belum mempunyai pengetahuan konseptual. Siswa yang mengerti konsep atau mempunyai pengetahuan konseptual dapat menemukan kembali konsep yang mereka lupakan.

Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses.

Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter , 1992). Umumnya, sejak anak-anak orang telah mengenal ide matematika. Melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola, bentuk, data, ukuran dsb. Anak sebelum sekolah belajar ide matematika secara alamiah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa datang ke sekolah bukanlah dengan kepala “kosong” yang siap diisi dengan apa saja.

Pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui anak. Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui sekolah, jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka.

Hanna dan Yackel (NCTM, 2000) mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat ditingkatkan melalui interaksi kelas. Percakapan kelas dan interaksi sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan mengorganisasikan pengetahuan kembali.

Pembelajaran MR memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan cara-cara informal untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan pengkonstruksian konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema (jaringan representasi) anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan menjadi lebih kuat sehingga pengertian siswa tentang konsep yang mereka konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan demikian, pembelajaran MR akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.

D. Simpulan dan Saran

Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai simpulan dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut. Matematika Realistik (MR) merupakan matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.

Pembelajaran MR menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran, dan melalui matematisasi horisontal-vertikal siswa diharapkan dapat menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan menerapkan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Dengan kata lain, pembelajaran MR berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying mathematics), sehingga siswa belajar dengan bermakna (pengertian).

Pembelajaran MR berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru tentang mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika realistik. Sesuai dengan simpulan di atas, maka disarankan:

(1) kepada pakar atau pencinta pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-penelitian yang berorientasi pada pembelajaran MR sehingga diperoleh global theory pembelajaran MR yang sesuai dengan sosial budaya Indonesia, dan

(2) kepada guru-guru matematika untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran MR secara bertahap, misalnya mulai dengan memberikan masalah-masalah realistik untuk memotivasi siswa menyampaikan pendapat.

Silahkan dicari yaaaaaaa....!!!!!!!!!!!!!!!

Atwel, Bleicher & Cooper.1998. “The Construction of The Social Contex of Mathematics Clasroom : A Sociolonguistic Analysis”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol 29 No.1 January 1998.hal 63-82

Cinzia Bonotto. 2000. Mathematics in and out of school : is it possible connect these contexts ? Exemplification from an activity in primary schools. http://www.nku.edu/~sheffield/bonottopbyd.htm

Cobb,Yackel & Wood.1992.”A Constructivist Alternative to The Representational View of Mind in Mathematics Education”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.23. No.1 January 1992. hal. 2-33 .

Davis. 1996. “One Very Complete View (Though Only One) of How Children Learn Mathematics ” Dalam Journal for Research in Mathematics Education Vol.27. No.1 January 1996. hal. 100-106

De Lange. 1987. Mathematics Insight and Meaning. OW & OC. Utrecht

Ernest,P. 1991. The Philosopy of Mathematics Education. London : Falmer Press

Gravemeijer. 1994. Developing Realistics Mathematics Education. Freudenthal Institute. Utrecht.

Hiebert, J & Thomas Carpenter. 1992. “Learning and Teaching With Understanding” Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York : Macmillan

Jennings, Sue & R, Dunne.1999. Math Stories,Real Stories, Real-life Stories. http://www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/actar01.htm.

Mitzel, H.E. 1982. Encyclopedia of Educational Research (Fifth Ed). New York : Macmillan NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics.USA : NCTM Price,J. 1996. “President’s Report : Bulding Bridges of Mathematical Understanding for All Children” . Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5 November 1996. hal. 603-608

Soedjadi. 2000. “Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah Di Indonesia”. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000)

Slavin,R. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition.Boston : Allyn and Bacon.

Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context”. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000 Streefland,L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary School. Freudenthal Institute: Utrecht.

Taylor. 1993. ”Vygotskian Influences in Mathematics Education With Particular Refrences to Attitude Development”. Dalam Jurnal Focus on Learning in Mathematics.Vol 15 No. 2 hal.3-17. TIMSS. 1999. International Student Achievement in Mathematics. http://timss.bc.edu/timss 1999i/pdf/T99i_math_01.pdf

Treffers.1991. “Didactical Background of a Mathematics Program for Primary Education”. Dalam Realistic Mathematics Education in Primary School. Freudenthal Institute: Utrecht.

Van den Heuvel-Panhuizen. 1998. Realistic Mathematics Education Work in Progress. http://www.fi.nl/ ……2000. Mathematics Education in the Netherlands a Guided Tour. http://www.fi.uu.nl/en/indexpulicaties.html.

Van Reeuwijk, Martin. 1995. The Role of Realistic Situations in Developing Tools for Solving Systems of Equations. www.fi.uu.nl/en/indexpublicaties/3781.pdf

Wilson, Teslow, Taylor.1993. “Instruction Design Perspectives on Mathematics Education With Refrences to Vygotsky’s Theory of Social Cognition”. Focus on Learning Problem in Mathematics.Vol 15.No 2 &3. hal. 65-84

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publishing

I Gusti Putu Suharta, Dosen Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Negeri Singaraja Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 38, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang – Depdiknas

Djamarah, Drs. Syaiful Bahri. Zain, Drs. Aswan, Strategi Belajar mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grasindo.

Jumbadi. 2005. Strategi Pelaksanaan Program Tutorial Sebaya dalam Pembelajaran Matematika di SMA. Widya Tama Vol. 2 No. 3:25.

Rustantoro, Tuwuh. 2005. Penyiapan Bahan Ajar Multimedia Pembelajaran (Fisika). Semarang: LPMP Jawa Tengah.

Suparno, Drs. Paul. 1997.Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yokyakarta: Kanisius

Setiawan, Didag. 2004. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas Vol. 10 tahun 2004.

Soepena, 2003. Belajar dengan CD-ROM, suatu Lompatan dalam pendidikan. Jakarta: Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas Vol. 8 Tahun 2003.

Yusuf, 2003, Proses dan Hasil Belajar Biologi melalui Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.



Jumat, 06 Juni 2008

Pendidikan Apeiron by Yusran Pora

Seorang ahli fisika dan pemenang Nobel asal Austria, Erwin Schrödinger pernah mengatakan, “Today a physicist no longer can distinguish significantly between matter and something else. We no longer contrast matter with forces or fields of force as different entities; we know now that these concepts must be merged.”
Apa maknanya? Pertama, Anda, saya, meja, kursi, bangunan sekolah, pak guru, ibu guru, tiang bendera, kapur, spidol, tinta, anak murid, anak mahasiswa es satu es dua es tiga, es teller dan seterusnya…..adalah sama saja alias podho wae. “Apapun dan siapapun berasal dari satu sumber yang sama yakni Quark dan Lepton,”1 demikian kata fisika quatum.
Pandangan semacam ini akan membuat anda mengalami apa yang dikatakan John S. Dunne sebagai Passing Over atau melintas. Dunne menambahkan bahwa proses passing over harus diikuti oleh coming back dengan wawasan dan pemahaman yang baru. Pandangan Dunne ini saya singkat: Inklusif > Eksklusif > New Inklusif. Anda bisa melintas pada budaya apa saja. Agama apa saja. Jenis manusia apa saja. Pengalaman hidup apa saja. Nilai hidup apa saja. Namun anda kembali dengan sebuah pemahaman baru yang lebih kreatif dan simpatik.
Kedua, Anda disini sekaligus disana. Anda tidak kemana-mana tapi berada dimana-mana. Kalau anda menampar seseorang, sesungguhnya anda telah menampar diri anda sendiri. Kalau anda menghina, mengejek, menyakiti, atau bahkan membunuh seseorang, maka sama saja anda melakukan itu semua untuk diri anda sendiri. Sekali lagi: “Anda disini sekaligus disana.” Anda sama sekali tidak terpisah dari apapun dan siapapun.
Kedua makna dari pernyataan Scrödinger diatas saya singkat dengan Apeiron. Kata ini sendiri berasal dari bahasa Yunani yang bermakna tak terbatas, tanpa akhir. Kata Apeiron ini bersifat ilahi, abadi, utama atau kekal. Dan inilah yang saya sebut dengan “pendidikan”. Inilah makna pendidikan sesungguhnya.
Dengan pemahaman semacam ini, pendidikan yang ingin kita usung pada anak didik akan bernuansa “saling keterhubungan”. Tidak ada “atasan” dan “bawahan”. Tidak ada yang superior dan inferior. Semuanya belajar bersama-sama dan sama-sama belajar.




Ada beberapa ciri pendidikan Apeiron:

1. Tidak ada kompetisi

Julia Cameron dan Mark Bryan dalam bukunya The Artist’s Way: A Spiritual Path to Higher Creativity dengan tegas mengatakan, “Kompetisi adalah candu spiritual lain. Ketika memfokuskan diri pada kompetisi, kita meracuni sumur kita sendiri, mengganggu kemajuan kita.”
Saya mengajak anda merenungi apa yang diucapkan J Krishnamurti (1983:14) tentang kompetisi:
Apakah mungkin dihapus sama sekali penilaian komparatif itu, secara akademis ataupun secara etis? Apakah mungkin siswa dibantu untuk tidak berpikir kompetitif dalam bidang akademis dan kendati pun begitu memiliki mutu yang tinggi dalam studinya, tindakannya dan dalam kehidupannya sehari-hari? Harap diingat bahwa kita bicara tentang berkembangnya kebaikan yang tak mungkin mekar di arena persaingan bentuk apa pun. Kompetisi atau persaingan hanya ada bila ada perbandingan.

Dalam buku Selamat Tinggal Sekolah saya kemukakan bahwa didalam sistem kompetisi pasti ada yang diukur, dinilai dan dibanding-bandingkan. Ini berbahaya untuk anak didik. Pengukuran, penilaian dan perbandingan akan hanya menghasilkan psikologi keterpisahan antara murid satu dengan lainnya yang ujung-ujungnya membuat anak didik menjadi malu, minder, takut atau bahkan arogan. Inilah yang dikatakan Matt Hern dalam bukunya Deschooling Our Lives sebagai negative psychological effect of the present school sistem. Sedang menurut Robert T. Kiyosaki (1993) model kompetisi ini akan menciptakan negative psychosocial environment.

2. Tidak ada standarisasi nilai

Dalam pendidikan, nilai apa yang ingin distandarisasi? Apa sih yang disebut baik, buruk, hitam, putih, bermoral, tidak bermoral? Ada sebuah cerita menarik untuk memperjelas hal ini:

Disebuah desa pedalaman Cina, hiduplah seorang petani tua yang mempunyai seekor kuda sebagai pembantunya yang setia mengolah lading sehari-hari. Pada suatu hari kuda itu lepas, menghilang di balik pegunungan. Akibatnya, sang petani tidak bisa menggarap ladangnya. Ketika para tetangganya berdatangan untuk memberikan penghiburan kepada sang petani malang itu, yang bersangkutan menjawab, Nasib buruk? Nasib baik? Siapa tahu?
Tanpa diduga, seminggu kemudian si kuda kembali ke rumah, bahkan membawa beberapa kuda liar dari pegunungan. Kali ini para tetangga kembali mengunjunginya, memberi selamat atas keberuntungan sang petani karena kudanya bertambah banyak. Jawabnya, “Nasib baik? Nasib buruk? Siapa tahu?”
Malang tak dapat ditolak, ketika anak si petani mencoba menjinakkan salah satu kuda liar itu, ia terjatuh dari punggung kuda dan kakinya patah. Semua orang menganggap bahwa anak tersebut bernasib malang. Tapi tidak demikian si petani. Tanggapannya sama, “Nasib buruk? Nasib baik? Siapa tahu?”
Beberapa minggu setelah itu, tentara kerajaan masuk ke desa, dan menangkap semua pemuda desa yang sehat untuk dibawa ke kota berperang melawan musuh. Nah ketika mereka melihat anak petani yang patah kaki, anak itu dilepaskan. Apakah itu nasib baik? Nasib buruk? Tidak ada yang tahu.

Saat ini mungkin anda bilang baik, tapi esok dapat saja menjadi buruk. Saat ini mungkin bernilai kecil, tapi beberapa hari kemudian sudah bernilai amat sangat besar. Sekarang tidak laku, esok menjadi laku keras. Dulu pernah di kecam, sekarang di puja-puja. Dulu di hormati, sekarang di hina. Begitu seterusnya.
Dalam pendidikan Apeiron, tidak ada nilai yang distandarisasi. Tidak ada yang mandek. Anda tidak dianjurkan untuk “memastikan” jalan tapi “mencari” jalan. Anda terus bertumbuh dan berubah. Ada beberapa fakta menarik yang diungkap oleh dunia kedokteran yang lebih menegaskan bahwa manusia itu terus mengalami perubahan, tidak mengenal standarisasi:

 1 tahun yang lalu 98% atom-atom yang ada di tubuh anda saat ini, tidak ada.
 3 bulan yang lalu rangka tubuh yang lalu tidak sama dengan hari ini.
 1 bulan sekali kulit anda diperbaharui.
 4 hari sekali anda memiliki kerutan perut yang baru.
 Setiap 5 menit sel-sel pencernaan di perbaharui.
 Setiap 6 minggu sel-sel hati diganti.
 Kandungan karbon, nitrogen, oksigen dalam sel-sel otak berubah setiap saat.

Ini hanya sekelumit fakta yang menunjukkan bahwa ekspansi, perubahan dan pertumbuhan adalah sebuah keniscayaan bagi seorang manusia. Bila secara fisik saja seorang manusia amat sulit untuk distandarisasi, apalagi sebuah nilai manusia?
Kalau anda sedang mendidik seorang manusia, maka standarisasi yang coba anda buat hanya akan memberangus kualitas-kualitas terbaik dari seorang manusia itu.

3. Melampaui dualisme indrawi2

Dalam pendidikan Apeiron, anda mengenal suka, duka. Anda akrab dengan sukses dan gagal. Anda bergaul dengan panas dan dingin. Singkatnya, anda bergumul dengan dua polaritas kehidupan. Tapi anda melampauinya. Ini yang amat sangat sulit kita dapatkan pada sekolah-sekolah konvensional.
Dalam sebuah diskusi dengan dua orang teman, saya melontarkan sebuah pertanyaan: Apa bedanya antara keindahan saat matahari terbit dan saat matahari terbenam? Teman pertama menjawab bahwa ia suka dengan terbitnya matahari sedang teman lainnya menjawab ia senang dengan keindahan saat sang surya tenggelam.
Jawaban dari kedua teman saya diatas sungguh menarik. Satu objek yang sama (matahari) dengan dua aktivitas yang berbeda (terbit & tenggelam) akan menghasilkan respon yang berbeda pula. Mengapa respon yang diberikan bisa berbeda? Teman pertama memberikan alasan bahwa ia menyukai matahari terbit karena adanya kegairahan, vitalitas dan semangat yang terkandung didalamnya. Sementara teman kedua beralasan terdapat kelembutan, kesejukan dan ketenangan pada saat matahari tenggelam.
Saya berpikir kemudian, “Bukankah kedua-duanya indah?” Yang satu indah karena adanya kegairahan, vitalitas dan semangat sedang yang lainnya indah karena ada kelembutan, kesejukan dan ketenangan. Kalau kesuksesan, nomor satu, kejayaan dan seterusnya kita ibaratkan matahari terbit dan itu indah, maka kegagalan, nomor terakhir, kekalahan dan seterusnya adalah ibarat matahari tenggelam dan itupun indah.
Sekali lagi pemahaman semacam ini hanya ada pada persekolahan Apeiron dan amat sangat sulit dijumpai pada sekolah-sekolah konvensional yang beredar saat ini.


The purpose of Apeiron education



INTERACTION WITHOUT CONTAMINATION



Ongoing stuggle



Pendidik Otoriter?

Kata otoriter berasal dari bahasa Latin auctor yang berarti perencana, cikal-bakal, pendiri. Dalam bahasa kamus kata ini dimaknai (1) the power to give orders and make others obey (2) a person or group having the power to make decision or to take action (3) the power to influence people because of inspiring respect, having special knowledge etc. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai berkuasa sendiri, sewenang-wenang. Dalam konteks etika, otoriter menunjukkan pentingnya pengaruh dari seorang individu atau sistem pandangan. Otoriter juga menunjuk pada kewenangan fisik, mental, atau moral dari pribadi-pribadi yang dapat mendorong persetujuan pribadi terhadap arahan-arahan dari orang yang memiliki kewenangan itu (Lorens Bagus:769).
Mengacu pada definisi-definisi diatas, tidak dipungkiri kita semua adalah orang-orang yang otoriter. Meskipun satu dengan lainnya memiliki gradasi otoriter yang berbeda-beda.
Pendidikan Apeiron adalah pendidikan yang mengikuti alur: dari “dalam” ke “luar” kemudian kedalam lagi bukan sebaliknya. Artinya pengenalan DIRI adalah hal paling pokok sebelum dilakukan pengenalan-pengenalan lainnya. DIRI yang saya maksudkan adalah theomorphic being3. Sifat DIRI inilah yang harus dikeluarkan dalam pendidikan Apeiron.
Nah, persoalannya adalah dimanakah peran pendidik untuk mengeluarkan seluruh divine nature itu? Dalam pendidikan Apeiron dikenal 4 tahapan kesadaran:
1. Tahapan kesadaran patuh/belajar = fisik
2. Tahapan kesadaran orientasi = mental Luar
3. Tahapan kesadaran jatidiri/menjadi siapa = emosi
4. Tahapan kesadaran non-jati diri/bukan siapa-siapa = spiritual Dalam

Tiga tahapan pertama: patuh, orientasi, jati diri membutuhkan OTORITAS (dependent). Sedangkan tahapan keempat tidak membutuhkan apapun dan siapapun ( tidak ada otoritas = independent)
Seperti yang saya kemukakan diatas pendidikan Apeiron berjalan dengan arah “dalam” ke “luar” kemudian kedalam lagi dengan perspektif yang lebih luas, kreatif dan simpatik. Jadi pendidikan Apeiron memiliki alur independent > dependent > new independent.
Dalam pendidikan Apeiron tugas pendidik adalah memahami benar alur diatas dan menempatkan dirinya pada posisi yang benar (baca: dependent). Namun setelah melakukan “tugas otoriter”-nya, seorang pendidik harus mampu melepaskan anak didiknya untuk mencari jalannya sendiri dengan pemahaman-pemahaman yang lebih segar dan baru (baca: new independent).