Jumat, 06 Juni 2008

Pendidikan Apeiron by Yusran Pora

Seorang ahli fisika dan pemenang Nobel asal Austria, Erwin Schrödinger pernah mengatakan, “Today a physicist no longer can distinguish significantly between matter and something else. We no longer contrast matter with forces or fields of force as different entities; we know now that these concepts must be merged.”
Apa maknanya? Pertama, Anda, saya, meja, kursi, bangunan sekolah, pak guru, ibu guru, tiang bendera, kapur, spidol, tinta, anak murid, anak mahasiswa es satu es dua es tiga, es teller dan seterusnya…..adalah sama saja alias podho wae. “Apapun dan siapapun berasal dari satu sumber yang sama yakni Quark dan Lepton,”1 demikian kata fisika quatum.
Pandangan semacam ini akan membuat anda mengalami apa yang dikatakan John S. Dunne sebagai Passing Over atau melintas. Dunne menambahkan bahwa proses passing over harus diikuti oleh coming back dengan wawasan dan pemahaman yang baru. Pandangan Dunne ini saya singkat: Inklusif > Eksklusif > New Inklusif. Anda bisa melintas pada budaya apa saja. Agama apa saja. Jenis manusia apa saja. Pengalaman hidup apa saja. Nilai hidup apa saja. Namun anda kembali dengan sebuah pemahaman baru yang lebih kreatif dan simpatik.
Kedua, Anda disini sekaligus disana. Anda tidak kemana-mana tapi berada dimana-mana. Kalau anda menampar seseorang, sesungguhnya anda telah menampar diri anda sendiri. Kalau anda menghina, mengejek, menyakiti, atau bahkan membunuh seseorang, maka sama saja anda melakukan itu semua untuk diri anda sendiri. Sekali lagi: “Anda disini sekaligus disana.” Anda sama sekali tidak terpisah dari apapun dan siapapun.
Kedua makna dari pernyataan Scrödinger diatas saya singkat dengan Apeiron. Kata ini sendiri berasal dari bahasa Yunani yang bermakna tak terbatas, tanpa akhir. Kata Apeiron ini bersifat ilahi, abadi, utama atau kekal. Dan inilah yang saya sebut dengan “pendidikan”. Inilah makna pendidikan sesungguhnya.
Dengan pemahaman semacam ini, pendidikan yang ingin kita usung pada anak didik akan bernuansa “saling keterhubungan”. Tidak ada “atasan” dan “bawahan”. Tidak ada yang superior dan inferior. Semuanya belajar bersama-sama dan sama-sama belajar.




Ada beberapa ciri pendidikan Apeiron:

1. Tidak ada kompetisi

Julia Cameron dan Mark Bryan dalam bukunya The Artist’s Way: A Spiritual Path to Higher Creativity dengan tegas mengatakan, “Kompetisi adalah candu spiritual lain. Ketika memfokuskan diri pada kompetisi, kita meracuni sumur kita sendiri, mengganggu kemajuan kita.”
Saya mengajak anda merenungi apa yang diucapkan J Krishnamurti (1983:14) tentang kompetisi:
Apakah mungkin dihapus sama sekali penilaian komparatif itu, secara akademis ataupun secara etis? Apakah mungkin siswa dibantu untuk tidak berpikir kompetitif dalam bidang akademis dan kendati pun begitu memiliki mutu yang tinggi dalam studinya, tindakannya dan dalam kehidupannya sehari-hari? Harap diingat bahwa kita bicara tentang berkembangnya kebaikan yang tak mungkin mekar di arena persaingan bentuk apa pun. Kompetisi atau persaingan hanya ada bila ada perbandingan.

Dalam buku Selamat Tinggal Sekolah saya kemukakan bahwa didalam sistem kompetisi pasti ada yang diukur, dinilai dan dibanding-bandingkan. Ini berbahaya untuk anak didik. Pengukuran, penilaian dan perbandingan akan hanya menghasilkan psikologi keterpisahan antara murid satu dengan lainnya yang ujung-ujungnya membuat anak didik menjadi malu, minder, takut atau bahkan arogan. Inilah yang dikatakan Matt Hern dalam bukunya Deschooling Our Lives sebagai negative psychological effect of the present school sistem. Sedang menurut Robert T. Kiyosaki (1993) model kompetisi ini akan menciptakan negative psychosocial environment.

2. Tidak ada standarisasi nilai

Dalam pendidikan, nilai apa yang ingin distandarisasi? Apa sih yang disebut baik, buruk, hitam, putih, bermoral, tidak bermoral? Ada sebuah cerita menarik untuk memperjelas hal ini:

Disebuah desa pedalaman Cina, hiduplah seorang petani tua yang mempunyai seekor kuda sebagai pembantunya yang setia mengolah lading sehari-hari. Pada suatu hari kuda itu lepas, menghilang di balik pegunungan. Akibatnya, sang petani tidak bisa menggarap ladangnya. Ketika para tetangganya berdatangan untuk memberikan penghiburan kepada sang petani malang itu, yang bersangkutan menjawab, Nasib buruk? Nasib baik? Siapa tahu?
Tanpa diduga, seminggu kemudian si kuda kembali ke rumah, bahkan membawa beberapa kuda liar dari pegunungan. Kali ini para tetangga kembali mengunjunginya, memberi selamat atas keberuntungan sang petani karena kudanya bertambah banyak. Jawabnya, “Nasib baik? Nasib buruk? Siapa tahu?”
Malang tak dapat ditolak, ketika anak si petani mencoba menjinakkan salah satu kuda liar itu, ia terjatuh dari punggung kuda dan kakinya patah. Semua orang menganggap bahwa anak tersebut bernasib malang. Tapi tidak demikian si petani. Tanggapannya sama, “Nasib buruk? Nasib baik? Siapa tahu?”
Beberapa minggu setelah itu, tentara kerajaan masuk ke desa, dan menangkap semua pemuda desa yang sehat untuk dibawa ke kota berperang melawan musuh. Nah ketika mereka melihat anak petani yang patah kaki, anak itu dilepaskan. Apakah itu nasib baik? Nasib buruk? Tidak ada yang tahu.

Saat ini mungkin anda bilang baik, tapi esok dapat saja menjadi buruk. Saat ini mungkin bernilai kecil, tapi beberapa hari kemudian sudah bernilai amat sangat besar. Sekarang tidak laku, esok menjadi laku keras. Dulu pernah di kecam, sekarang di puja-puja. Dulu di hormati, sekarang di hina. Begitu seterusnya.
Dalam pendidikan Apeiron, tidak ada nilai yang distandarisasi. Tidak ada yang mandek. Anda tidak dianjurkan untuk “memastikan” jalan tapi “mencari” jalan. Anda terus bertumbuh dan berubah. Ada beberapa fakta menarik yang diungkap oleh dunia kedokteran yang lebih menegaskan bahwa manusia itu terus mengalami perubahan, tidak mengenal standarisasi:

 1 tahun yang lalu 98% atom-atom yang ada di tubuh anda saat ini, tidak ada.
 3 bulan yang lalu rangka tubuh yang lalu tidak sama dengan hari ini.
 1 bulan sekali kulit anda diperbaharui.
 4 hari sekali anda memiliki kerutan perut yang baru.
 Setiap 5 menit sel-sel pencernaan di perbaharui.
 Setiap 6 minggu sel-sel hati diganti.
 Kandungan karbon, nitrogen, oksigen dalam sel-sel otak berubah setiap saat.

Ini hanya sekelumit fakta yang menunjukkan bahwa ekspansi, perubahan dan pertumbuhan adalah sebuah keniscayaan bagi seorang manusia. Bila secara fisik saja seorang manusia amat sulit untuk distandarisasi, apalagi sebuah nilai manusia?
Kalau anda sedang mendidik seorang manusia, maka standarisasi yang coba anda buat hanya akan memberangus kualitas-kualitas terbaik dari seorang manusia itu.

3. Melampaui dualisme indrawi2

Dalam pendidikan Apeiron, anda mengenal suka, duka. Anda akrab dengan sukses dan gagal. Anda bergaul dengan panas dan dingin. Singkatnya, anda bergumul dengan dua polaritas kehidupan. Tapi anda melampauinya. Ini yang amat sangat sulit kita dapatkan pada sekolah-sekolah konvensional.
Dalam sebuah diskusi dengan dua orang teman, saya melontarkan sebuah pertanyaan: Apa bedanya antara keindahan saat matahari terbit dan saat matahari terbenam? Teman pertama menjawab bahwa ia suka dengan terbitnya matahari sedang teman lainnya menjawab ia senang dengan keindahan saat sang surya tenggelam.
Jawaban dari kedua teman saya diatas sungguh menarik. Satu objek yang sama (matahari) dengan dua aktivitas yang berbeda (terbit & tenggelam) akan menghasilkan respon yang berbeda pula. Mengapa respon yang diberikan bisa berbeda? Teman pertama memberikan alasan bahwa ia menyukai matahari terbit karena adanya kegairahan, vitalitas dan semangat yang terkandung didalamnya. Sementara teman kedua beralasan terdapat kelembutan, kesejukan dan ketenangan pada saat matahari tenggelam.
Saya berpikir kemudian, “Bukankah kedua-duanya indah?” Yang satu indah karena adanya kegairahan, vitalitas dan semangat sedang yang lainnya indah karena ada kelembutan, kesejukan dan ketenangan. Kalau kesuksesan, nomor satu, kejayaan dan seterusnya kita ibaratkan matahari terbit dan itu indah, maka kegagalan, nomor terakhir, kekalahan dan seterusnya adalah ibarat matahari tenggelam dan itupun indah.
Sekali lagi pemahaman semacam ini hanya ada pada persekolahan Apeiron dan amat sangat sulit dijumpai pada sekolah-sekolah konvensional yang beredar saat ini.


The purpose of Apeiron education



INTERACTION WITHOUT CONTAMINATION



Ongoing stuggle



Pendidik Otoriter?

Kata otoriter berasal dari bahasa Latin auctor yang berarti perencana, cikal-bakal, pendiri. Dalam bahasa kamus kata ini dimaknai (1) the power to give orders and make others obey (2) a person or group having the power to make decision or to take action (3) the power to influence people because of inspiring respect, having special knowledge etc. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai berkuasa sendiri, sewenang-wenang. Dalam konteks etika, otoriter menunjukkan pentingnya pengaruh dari seorang individu atau sistem pandangan. Otoriter juga menunjuk pada kewenangan fisik, mental, atau moral dari pribadi-pribadi yang dapat mendorong persetujuan pribadi terhadap arahan-arahan dari orang yang memiliki kewenangan itu (Lorens Bagus:769).
Mengacu pada definisi-definisi diatas, tidak dipungkiri kita semua adalah orang-orang yang otoriter. Meskipun satu dengan lainnya memiliki gradasi otoriter yang berbeda-beda.
Pendidikan Apeiron adalah pendidikan yang mengikuti alur: dari “dalam” ke “luar” kemudian kedalam lagi bukan sebaliknya. Artinya pengenalan DIRI adalah hal paling pokok sebelum dilakukan pengenalan-pengenalan lainnya. DIRI yang saya maksudkan adalah theomorphic being3. Sifat DIRI inilah yang harus dikeluarkan dalam pendidikan Apeiron.
Nah, persoalannya adalah dimanakah peran pendidik untuk mengeluarkan seluruh divine nature itu? Dalam pendidikan Apeiron dikenal 4 tahapan kesadaran:
1. Tahapan kesadaran patuh/belajar = fisik
2. Tahapan kesadaran orientasi = mental Luar
3. Tahapan kesadaran jatidiri/menjadi siapa = emosi
4. Tahapan kesadaran non-jati diri/bukan siapa-siapa = spiritual Dalam

Tiga tahapan pertama: patuh, orientasi, jati diri membutuhkan OTORITAS (dependent). Sedangkan tahapan keempat tidak membutuhkan apapun dan siapapun ( tidak ada otoritas = independent)
Seperti yang saya kemukakan diatas pendidikan Apeiron berjalan dengan arah “dalam” ke “luar” kemudian kedalam lagi dengan perspektif yang lebih luas, kreatif dan simpatik. Jadi pendidikan Apeiron memiliki alur independent > dependent > new independent.
Dalam pendidikan Apeiron tugas pendidik adalah memahami benar alur diatas dan menempatkan dirinya pada posisi yang benar (baca: dependent). Namun setelah melakukan “tugas otoriter”-nya, seorang pendidik harus mampu melepaskan anak didiknya untuk mencari jalannya sendiri dengan pemahaman-pemahaman yang lebih segar dan baru (baca: new independent).