Kamis, 21 April 2011

PERMASALAHAN PENGAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH MENENGAH DITINJAU DARI TEORI PERKEMBANGAN DAN TEORI BELAJAR

A. Pendahuluan
Pendidikan senantiasa merupakan beban dan tantangan bagi setiap negara yang tidak akan berhenti. Beban dan tantangan ini berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah kemajuan sains, kemajuan teknologi, pertumbuhan penduduk, dan keterbatasan dana. Semua orang menyadari adanya tantangan tersebut dan berusaha mengambil bagian dalam menanggulangi beban dan tantangan tersebut sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing.
Para pendidik matematika di sekolah menengah perlu untuk mengetahui permasalahan yang ada, dan perlu pula memahami perkembangan pendidikan matematika, minimal perkembangan tentang proses mengajar belajar yang sesuai dengan tuntutan dan harapan sekarang ini.
Ada beberapa masalah pokok yang perlu mendapat perhatian guru matematika sekolah menengah. Permasalahan yang akan dikemukakan ini adalah permasalahan yang bersifat umum, yaitu kualitas masukan sekolah, minat siswa terhadap matematika, pengajaran matematika di sekolah, dan pemahaman guru terhadap teori belajar.
Kualitas atau kemampuan siswa sekolah menengah dirasakan ada penurunan. Menurunnya kualitas pendidikan ini akan terasa kalau dibandingkan antara kemampuan siswa sekarang dengan kemampuan siswa sebelumnya, dan tidak mudah mengambil kesimpulan dalam menyalahkan kualitas ini. Masalah kualitas siswa di sekolah adalah masalah yang kompleks yang banyak menyangkut berbagai faktor.
Namun ada pula suatu kenyataan yang membanggakan bahwa dalam suasana sekarang ini banyak siswa yang mempunyai kualitas yang baik. Paul Suparno dalam J Drost (2006: x) menyatakan bahwa banyak siswa yang berprestasi di tingkat nasional maupun tingkat internasional seperti beberapa siswa Indonesia mendapatkan penghargaan medali emas pada Olimpiade Fisika dunia. Tetapi hal ini belum mampu untuk menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesai masih rendah.
Salah satu sebab utama kualitas siswa sekolah menengah pada umumnya menurun diantaranya adalah banyak anak kurang mampu untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dan guru tidak dapat lagi mempertahankan mutu mendidik seperti semula.
Matematika yang memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan yang akan mendatang, tetapi dewasa ini mata pelajaran matematika masih menjadi momok bagi kebanyakan siswa. Menurut Imam Subandi penyebab matematika masih menjadi masalah bagi anak didik diantaranya adalah kurangnya minat belajar matematika siswa, siswa masih menganggap bahwa matematika itu sulit dan tidak menyenangkan, dan guru juga kurang bervariasi dalam menyajikan materi matematika, bahkan tidak jarang siswa menganggap bahwa matematika adalah matik-matian.
Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Matematika diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, untuk perkembangan sain, dan untuk perkembangan teknologi. Akibatnya, matematika perlu diberikan sebagai bekal kepada setiap siswa sejak dari sekolah dasar. Namun di lain pihak, matematika pada hakikatnya adalah suatu ilmu yang penalarannya bersifat deduktif formal dan abstrak.
Siswa sekolah menengah pada umumnya sudah berusia 12 tahun, yang menurut teori perkembangan mental Peaget sudah pada taraf berpikir formal. Namun demikian tidak berarti guru matematika di sekolah menengah tidak perlu memperhatikan taraf operasi sebelum formal, sebab tidak jarang siswa sekolah menengah taraf berpikir formalnya belum tercapai.
Salah satu hal penting dari pembelajaran adalah memperkenalkan refleksi sebagai unsur yang esensial. Sampai saat ini mengajar berarti menyampaikan informasi atau memindahkan pengetahuan dari pengajar kepada pelajar. Para pelajar diajar dengan jelas dan bahan diterangkan dengan baik. Kemudian pelajar membuktikan bahwa apa yang telah diajarkan telah diserap. Untuk membuktikaan ini siswa cukup menyampaikan dengan hafalan saja. Padahal telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa belajar secara efektif hanya lewat interaksi pelajar dengan pengalaman yang dimiliki sebelum masuk kelas. Interaksi dengan pengalaman tidak hanya terjadi lewat menghafalkan saja tetapi juga dapat menggunakan refleksi.
Selama ini pembelajaran matematika di kelas masih mengikuti ritme pengajaran pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu: (1) penyajian definisi/aksioma/teorema, (2) penyajian contoh-contoh dan non-contoh, (3) mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan, dan (4) penugasan pekerjaan rumah. Dengan cara mengajar seperti ini pengembangan ketrampilan menghafalkan merupakan tujuan utama pengajaran. Hal ini terjadi karena guru memakai pola mengajar seperti guru mereka yang dulu, atau menurut pengalaman guru saat mereka menjadi siswa di sekolah. Hal ini juga disebabkan kurangnya pemahaman guru pada teori belajar maupun teori perkembangan.
Pada saat kuliah di LPTK, secara umum mahasiswa LPTK telah diberi bekal atau telah diberikan mata kuliah dasar-dasar kependidikan, seperti mata kuliah Landasan Pendidikan, Psikologi Pendidikan, dan Belajar dan Pembelajaran. Namun, karena dosen pengampu untuk mata kuliah-mata kuliah tersebut merupakan dosen pada bidang ilmu pendidikan dan bukan dosen pendidikan matematika, maka pada perkuliahannya masih bersifat umum, tidak langsung menyentuh pada proses pembelajaran pada mata pelajaran matematika. Sehingga tidak mengherankan jika banyak guru yang tidak mengetahui teori pembelajaran pada mata pelajaran matematika
Dari beberapa permasalahan pembelajaran matematika di sekolah menengah, pada tulisan ini akan dibahas tentang alternatif penyelesaian permasalahan pembelajaran matematika di sekolah menengah ditinjau dari pemahaman guru terhadap teori perkembangan dan teori belajar.

B. Kajian Pustaka
1. Teori Perkembangan
Teori perkembangan adalah teori yang membahas tentang psikologi manusia mulai dari pranatal sampai lanjut usia atau menjelang kematian. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Elizabet B. Hurlock (1999: 2) bahwa Psikologi perkembangan sebagai cabang ilmu psikologi menelaah pelbagai perubahan intra-individual dan perubahan-perubahan inter-individual yang terjadi di dalam perubahan intra-individual.
Kata perkembangan juga seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan dan kematangan. Ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pertumbuhan dan perkembangan pada dasarnya adalah suatu perubahan menuju ke tahap yang lebih tinggi atau lebih baik.
Ada beberapa perbedaan antara pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan lebih banyak berkenaan dengan aspek jasmaniah atau fisik, sedang perkembangan lebih banyak berkenaan dengan aspek rohaniah atau psikis. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh M. Dalyono (2001: 61) bahwa “Bagian pribadi materiil yang kuantitatif mengalami pertumbuhan, sedangkan bagian pribadi fungsional yang kualitatif mengalami perkembangan”.
Baik pada pertumbuhan maupun pada perkembangan tersangkut pula perihal kematangan, yang merupakan masa yang terbaik bagi berfungsinya atau berkembangnya dengan cepat aspek-aspek kepribadian tertentu. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Ahmad Fauzi (1999: 73) bahwa “Dalam proses perkembangan rohani terjadi perubahan yang terus menerus, tetapi perkembangan itu tetap merupakan suatu kesatuan”. Sedangkan Oemar Hamalik (1992: 85) menyatakan “Perkembangan sebagai fungsi interaksi antara organisme dengan lingkungan”.
2. Tahap-Tahap Perkembangan
Nana Syaodih Sukmadinata (2005: 117-119) menyatakan tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
a. Aristoteles membagi masa perkembangan menjadi tiga tahap, yaitu: masa kanak-kanak (0-7 tahun), masa anak (7-14 tahun), dan masa remaja (14-21 tahun).
b. Jean Jacques Rousseau membagi perkembangan menjadi empat tahap, yaitu: masa bayi (0-2 tahun), masa kanak-kanak (2-12 tahun), masa remaja awal (12-15 tahun), dan masa remaja sesungguhnya (15-24 tahun).
c. Stanley Hall membagi perkembangan anak empat tahap, yaitu: masa kanak-kanak(0-4 tahun), masa anak (4-8 tahun), masa puber atau remaja awal (8-12 tahun), dan masa adolesen atau remaja sesungguhnya (12/13 tahun sampai dewasa).
d. Donald B. Helms dan Jeffry S. Turner memberikan urutan lengkap dari perkembangan individu, yaitu: masa pranatal atau sebelum lahir, masa bayi (0-2 tahun), masa kanak-kanak (2-3/4 tahun), masa anak kecil (3/4-5/6 tahun), masa anak (6-12 tahun), masa remaja(12-19 tahun), masa dewasa muda (19-30 tahun), masa dewasa (30-65 tahun), dan masa usia lanjut (setelah 65 tahun).
e. Sigmund Freud mengemukakan tahap-tahap perkembangan berdasarkan perkembangan seksual, yaitu: masa oral (0-2 tahun), masa anal (2-4 tahun), masa falik (4-6 tahun), masa latency (6-12 tahun), dan masa genital (setelah 12 tahun).
f. Jean Piaget mengemukakan perkembangan kognitif atau kemampuan berpikir atas lima tahap, yaitu: tahap sensori motor (0-2 tahun), tahap pra operasional (2-7 tahun) yang terbagi atas dua tahap yaitu tahap pra konseptual (2-4 tahun) dan tahap pemikiran intuitif (4-7 tahun), tahap operasi konkrit (7-11 tahun), dan tahap operasi formal (setelah 11 tahun).
Dari tahap-tahap perkembangan di atas terlihat bahwa siswa sekolah menengah secara fisik merupakan masa remaja atau masa puber, secara seksual merupakan masa genital, dan secara kognitif sudah pada tahap berfikir formal. Seperti dikemukakan oleh Abu Hanafi dan Munawar Sholeh (2005: 41) bahwa “Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja”.
Lebih lanjut Ahmad Fauzi (1999: 90-92) membagi masa usia sekolah menengah sebagai berikut:
a. Masa pra remaja, yaitu suatu masa yang berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat. Masa ini ditandai oleh sifat-sifat negatif remaja, sehingga masa ini juga disebut masa negatif. Berbagai gejala yang bisa dianggap negatif pada mereka adalah negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, negatif dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dari masyarakat maupun bentuk agresif terhadap masyarakat.
b. Masa remaja, yaitu masa kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, dan teman yang dapat turut merasakan suka dan dukanya. Disini mulai tumbuh dalam diri remaja dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang dapat dipandang bernilai. Pada masa inilah remaja mengalami kegoncangan batin sebab tidak mau menggunakan pedoman hidup kanak-kanaknya, tetapi belum mempunyai pedoman hidup yang baru. Proses terbentuknya pedoman hidup dipandang sebagai penemuan nilai-nilai hidup di dalam explorasi remaja.
c. Masa remaja akhir, yaitu terjadi setelah remaja menemukan sistem nilai yang diikutinya dan telah dapat menentukan pendirian hidupnya. Pada dasarnya telah tercapai masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan masa remaja, yaitu menemukan pendirian hidup dan masuk dalam masa dewasa awal.
3. Teori Belajar
Pemahaman guru terhadap pengertian dan makna belajar sangat berpengruh terhadap tindakan guru dalam membimbing siswa untuk belajar. Guru yang hanya memahami bahwa belajar adalah proses transfer ilmu atau pengetahuan kepada anak didik tentu akan berbeda dengan pemahaman guru yang memahami bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku. Sehingga guru perlu untuk mengetahui dan memahami pengertian belajar dan teori belajar.
a. Behaviourisme
Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 2) menyatakan bahwa ada dua pendekatan psikologis dalam melihat proses belajar, yaitu pendekatan connectionist or behaviorist dan pendekatan cognitive or cognitive field”. Pendekatan behavior melihat proses belajar sebagai proses terjadinya hubungan antara stimulus atau rangsangan dengan respon atau jawaban atau antara respon dengan penguatan (reinforcement), sedangkan pendekatan kognitif melihat proses belajar tidak semata-mata hasil hubungan stimulus dan respon tetapi lebih merupakan hasil dari kemampuan mental individu dalam melakukan fungsi-fungsi psikologis seperti konsep dan ingatan, atau dengan perkataan lain pendekatan behavior menekankan unsur di luar diri individu (lingkungan) sedangkan pendekatan kognitif menitikberatkan pada potensi dari individu.
Tokoh teori behaviourisme diantaranya adalah Ivan petrovich Pavlov dengan teori Classical Conditioning, Edward L. Thordike dengan teori The Law of Effect, dan Baron F. Skiner dengan teori Operant Conditioning.
Menurut Oemar Hamalik (1992: xx) teori yang dikemukan oleh Ivan Petrovich Pavlov menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang awalnya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan stimulus dengan respons, stimulus yang tidak memadai untuk menciptakan respons mampu menimbulkan respons.
Menurut Sumadi Suryabrata (1987: 271), teori The Law of Effect yang dikemukakan oleh Edward L. Thordike menunjukkan bahwa makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat dari hasil respon yang dilakukan. Apabila suatu hubungan (koneksi) ditandai (diikuti) oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu hubungan (koneksi) dibuat dan disertai (diikuti) oleh keadaan yang kurang memuaskan maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
Salah satu teori yang mengacu pada pendekatan tingkah laku atau behavior adalah Skinner yang mengemukakan teori Operant Conditioning. Skiner dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 3) menyatakan bahwa belajar melibatkan tiga tahapan yaitu pertama Hadirnya stimulus atau situasi (S) yang diharapi individu, Kedua Perilaku atau behavior (B) yang lahir dari diri individu, dan ketiga Penguatan atau reinforcement (R) yang mengikuti perilaku tersebut.
b. Kognitivisme
Bruner dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 3) mengungkapkan bahwa belajar bukan semata merupakan unit perilaku yang pasif yang terlahir akibat stimulus, tetapi merupakan proses aktif dimana individu menggunakan prinsip dan hukum dan menerapkannya. Hal ini menunjukkan bahwa proses belajar bukan hanya terjadi pada diri individu seperti dalam model operant conditioning tetapi merupakan suatu proses dimana individu sendiri sengaja membuat hal itu terjadi melalui proses menerima dan menggunakan informasi.
Selain itu Gagne dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 3) berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh variabel dalam diri individu dan dari luar individu yang saling berinteraksi. Hal ini menunjukkan bahwa Gagne menganut kedua pendekatan, yaitu pendekatan tingkat laku atau behavior dan pendekatan kognitif. Lebih lanjut Gagne dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 3) merinci proses belajar menjadi delapan jenis belajar yaitu:
a. Signal Learning atau Belajar Isyarat.
b. Stimulus-Response Learning atau Belajar Stimulus-Respon.
c. Chaining Learning atau Belajar Rangkaian.
d. Verbal Association Learning atau Belajar Asosiasi Verbal.
e. Discrimination Learning atau Belajar Membedakan.
f. Concept Learning atau Belajar Konsep.
g. Rule Learning atau Belajar Hukum atau Aturan.
h. Problem Solving atau Belajar Pemecahan Masalah.
c. Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme tidak sependapat dengan anggapan bahwa ilmu pengetahuan atau pengetahuan umumnya dapat ditransfer atau dipindahkan dari pikiran seseorang kepada pikiran orang lain. Tetapi menurut Paul Suparno (2001: 122) aliran konstruktivisme adalah teori yang berpendapat bahwa pengetahuan perlu dikonstruk atau dibangun sendiri oleh siswa yang ingin atau perlu memahaminya.
Sedangkan Kauchak dalam Dede Rosyada (2004: 94) mengemukakan bahwa Konstruktivisme adalah teori yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat komponen kunci, yaitu (1) Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan kepada mereka, (2) Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya, (3) Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial, dan (4) Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran.
Menurut Wilson, dkk dalam Herman Hudoyo (2005: 100) paradigma konstruktivis yang mendasari desain pembelajaran konstuktivisme adalah (1) Mental sebagai representasi internal dari realita luar, (2) Pengetahuan diposisikan dalam mental individu, (3) Makna secara internal dikonstruk, (4) Refleksi dan abstraksi individu adalah utama, (5) Pembelajaran berarti kostruksi yang dinegosiasikan dari makna.
Salah satu prinsip pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah pendidikan berpusat pada siswa yang mengupayakan kemandirian siswa untuk belajar, bekerja sama, dan menilai diri sendiri agar mampu mengkonstruk kemauan, pemahaman, dan pengetahuannya. Hal ini menunjukkan bahwa KBK menekankan pembelajaran dengan menggunakan aliran konstruktivisme, yang memberikan hal yang baru pada dunia pen-didikan di Indonesia. Aliran konstruktivisme menggeser pusat kegiatan pembelajaran, tidak lagi berpusat pada guru tetapi berpusat pada anak didik. Diharapkan keseimbangan dan ketepatan kegiatan antara guru dan anak didik serta antara sarana dan lingkungan akan dapat terwujud sehingga pada akhirnya akan menguntungkan pendidikan anak didik.

C. Implikasi Teori Perkembangan dan Teori Belajar pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah
1. Perlukah Teori Perkembangan
Karena siswa sekolah menengah termasuk masa remaja, yaitu masa kebutuhan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, dan teman yang dapat turut merasakan suka dan dukanya, maka guru perlu untuk lebih memperhatikan kebutuhan psikis siswa. Dalam pembelajaran matematika dapat dipilih model pembelajaran kooperatif. Hal ini menunjukkan bahwa guru perlu dan wajib mengetahui teori perkembangan.

2. Perlukan Teori Belajar
Belajar adalah aktifitas mental. Otak menerima informasi untuk mengkreasikan informasi baru dan kemudian memungkinkan informasi tersebut dipanggil kembali. Informasi yang diterima perlu disimpan dalam otak sehingga bila diperlukan dapat dipresentasikan kembali.
Siswa telah mempunyai sesuatu dalam benaknya sebelum diajarkan matematika. Hal ini berarti benak siswa tidak kosong sama sekali. Oleh karena itu, informasi matematika yang akan diajarkan kepada siswa tidak begiti saja dapat ditangkap atau dipahami siswa dengan baik walaupun guru telah mencoba menyusun langkah-langkah pengajaran dengan sistematika dan logis. Pengalaman menunjukkan guru selalu kecewa dengan pencapaian siswa, kesalahan dilemparkan kepada siswa bahwa siswa tidak serius, kemauan belajar minim atau malas.
Dari hal di atas, nampak bahwa dalam pembelajaran matematika guru perlu memperhatikan teori belajar yang mendasari bagaimana guru akan mengajarkan matematika. Alternatif teori belajar yang dapat digunakan oleh guru sebaiknya menyesuaikan materi pelajaran maupun kemampuan guru sendiri.
3. Metode Mengajar Matematika
Metode mengajar matematika merupakan cara guru menyampaikan konsep/prinsip matematika sehingga diharapkan siswa dapat memahami konsep/prinsip yang disajikan.
Alternatif metode mengajar yang dilaksanakan misalnya ceramah/ekspositori, diskusi, belajar mandiri, dan laboratorium. Yang penting adalah terjadinya belajar yang efektif. Belajar efektif terjadi bila siswa aktif terlibat dalam mengorganisasikan dan menemukan lebih hubungan-hubungan dalam informasi-informasi yang siswa peroleh dari pada penerimaan pasif sejumlah informasi dari guru. Kegiatan ini akan menghasilkan tidak hanya mengembangkan belajar dari pada materi pelajaran. Untuk itu, salah satu alternatif metode pembelajaran adalah metode diskusi atau belajar kooperatif dengan memperhatikan pengetahuan atau kemampuan awal siswa supaya siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya.
4. Pembelajaran Konstruktif
Yang perlu mendapatkan perhatian guru matematika saat ini adanya oeubahan paradigma dari mengajar ke belajar. Paradigma belajar tidak cukup siswa belajar dengan instruksi guru dalam mentransfer pengetahuan ke siswa, tetapi siswa perlu mengkonstruksi matematika yang dipelajari.
Guru matematika konstruktivis adalah guru yang mengkonstruksi teori pembelajaran dengan merefleksikan bagaimana guru menggunakan dan membentuk matematika. Hal ini berarti guru dituntut mempunyai kemampuan untuk melihat bagaimana mengetahui persepsi matematika siswa yang telah dan akan dipelajari siswa, termasuk dalam menggunakan bahasa, kemampuan mengapresiasi ide siswa yang dapat dinalar dan membangunnya ke dalam pembelajaran.
Agar siswa dapat membangun pemahamannya terhadap konsep/prinsip matematika perlu adanya bantuan orang lain, misalnya guru atau temannya yang lebih mampu, sehingga perlu adanya saling bernegosiasi secara mental antara siswa dan guru serta antara siswa dan siswa. Dalam pembelajaran konstruktif, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Siswa terlibat aktif dalam belajarnya, siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir, dan siswa belajar bagaimana belajar itu.
b. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan informasi yang telah dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi(materi) kompleks terjadi.
c. Oreintasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Kondisi lingkungan belajar konstruktif penting, namun tidak secara otomatis menghasilkan belajar konstruktif. Siswa perlu mengembangkan keyakinan dan kebiasaannya dalam belajar sehingga kemampuan ketrampilan kognitif siswa berkembang. Seperti yang dikemukakan oleh Herman Hudoyo (2005: 20-21) tentang hal-hal yang dapat dilakukan (diupayakan) untuk mendukung lingkungan belajar diantaranya (1) menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan, (2) menyediakan berbagai aternatif pengalaman belajar, tidak semua siswa mengerjakan tugas yang sama, (3) mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret, (4) mengintegrasikan pembelajaran sehingga terjadi transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, (5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif, (6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mempunyai motivasi untuk belajar.



D. Penutup
1. Simpulan
a. Guru perlu dan wajib mengetahui tentang teori perkembangan dan teori belajar.
b. Karena siswa sekolah menengah pada masa remaja, dalam pembelajaran matematika perlu dikembangkan dan digunakan pembelajaran kooperatif.
c. Karena siswa telah memiliki kemampuan awal, pembelajaran konstruktif dapat dipakai sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika di sekolah menengah.
2. Saran
a. Guru matematika sekolah menengah sebaiknya mempelajari teori perkembangan dan teori belajar untuk lebih dapat mengefektifkan pembelajaran di kelas.
b. Sekalipun pada pembelajaran matematika di sekolah menengah idealnya menggunakan pendekatan konstruktif atau pendekatan kognitif, guru dapat pula menggunakan pendekatan behaviour/tingkat laku menyesuaikan dengan materi pelajaran maupun tujuan pembelajarannya.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ahmad Fauzi. 1999. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Elizabet B. Hurlock. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Guruvalah. tt. Orientasi baru dalam psikologi belajar. http://www.guruvalah.tk

H.M. Surya, dkk. 2007. Kapita Selekta Kependidikan SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Imam Subandi. tt. Makalah: Pembelajaran Interaktif Berbasis Multimedia Di Sekolah Dasar.

J. Drost. 2006. Dari KBK sampai MBS. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

M. Dalyono. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Oemar Hamalik. 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Paul Suparno. 2001. Teori Perkembanga Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Sumadi Suryabrata. 1987. Psikologi pendidikan. Jakarta: Rajawali pers.

Udin S. Winataputra dan Tita Rosita. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.