Selasa, 24 April 2012

Soal analisis kompleks semester VI 1. Buktikan bahwa lz1 + z2l <= lz1l + lz2l dan lz1 + z2l >= lz1l - lz2l 2. Tentukan R(z), I(z), lzl dari [(2 – 5i)/(3 + 4i)] + [(3 – 14i)/(25i)] 3. Nyatakan dalam bentuk a + ib dari [(1 – i)3]/(1 + i) 4. Jika lzl = 3 buktikan bahwa l (1/(z2 + 1)) l<= 1/8 5. Jika z = [(1 + i) (1 + iV3)]/(-1 + i) tentukan bentuk kutub dari z, z, Arg (z) 6. Buktikan bahwa semua akar pangkat 5 dari [2(1 + iV3)]/(1 – i)2 merupakan titik titik sudut segi 5 beraturan dan tentukan semua titik sudutnya. 7. Buktikan bahwa limit z c dari z2 adalah c2 untuk sebarang konstanta c 8. Buktikan bahwa jika f’(z0) ada maka f kontinu di z0 pengumpulan jawaban paling lambat dikirim pada hari jumat tanggal 27 April 2012 jam 10.00.

Selasa, 28 Februari 2012

ANALISIS PENGARUH KEDISIPLINAN, MOTIVASI BELAJAR, DAN DUKUNGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA KULIAH METODE STATISTIKA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA ANGKATAN 2009 Oleh : Tri Astuti Arigiyati Abstrak Penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kedisiplinan, motivasi belajar, dan dukungan orang tua terhadap prestasi belajar mata kuliah metode statistika mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika UST angkatan 2009 tahun akademik 2010/2011 baik secara parsial maupun simultan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh antara kedisiplinan, motivasi belajar, dan dukungan orang tua terhadap prestasi belajar mata kuliah Metode Statistika mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika FKIP UST angkatan 2009 baik secara parsial maupun simultan. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Prodi Matematika UST angkatan 2009 tahun akademik 2010/2011 yang berjumlah 150 orang, sedangkan sampel dalam penelitian ini berjumlah 94 mahasiswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dan angket. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa kedisiplinan saat kuliah termasuk dalam kategori sangat tinggi, sedangkan motivasi belajar dan dukungan orang tua mahasiswa termasuk dalam kategori sedang. Didapatkan koefisien korelasi 0,423 dan signifikan, artinya ada hubungan positif antara kedisiplinan, motivasi belajar, dan dukungan orang tua dengan prestasi belajar mata kuliah Metode Statistika Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika angkatan 2009. Didapatkan model persamaan regresi :Y’= 31,942 + 2,734 X1 - 0,366 X2 + 0,246 X3. Diperoleh koefisien determinasi 0,179 (17,9%). Artinya ketiga variabel bebas memberikan kontribusi terhadap prestasi belajar mata kuliah metode statistika sebesar 17,9% sedangkan sisanya sebesar 82,1% dipengaruhi oleh faktor yang lain. Kata kunci: kedisiplinan, motivasi belajar, dukungan orang tua, prestasi belajar, korelasi, regresi ganda.

Senin, 27 Februari 2012

EFEKTITIFAS PEMBELAJARAN GURU BIDANG STUDI MATEMATIKA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS 5 (LIMA) SEKOLAH DASAR SE-KECAMATAN KALASAN TAHUN PELAJARAN 2010 – 2011 Oleh Sri Adi Widodo, M.Pd ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya prestasi belajar matematika siswa dikarenakan persepsi negatif siswa terhadap matematika, obyek pembelajaran dalam matematika bersifat abstrak belum realistik, pembelajaran yang digunakan belum menggunakan guru bidang studi dan kemampuan untuk memahami konsep matematika pada jenjang sebelumnya sangat lemah. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pembelajaran yang efektif digunakan dalam pembelajaran, guru kelas atau guru guru bidang studi. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas 5 (lima) Sekolah Dasar se-Kecamatan Kalasan Tahun Pelajaran 2010-2011. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 6 Sekolah Dasar yang terdiri dari 3 Sekolah Dasar (177 siswa) sebagai kelompok eksperimen dan 3 sekolah (77 siswa) sebagai kelompok kontrol. Pengambilan Sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Uji coba instrumen dilakukan menggunakan uji validitas, tingkat kesukaran daya beda dan reliabilitas. Uji instrumen diberikan pada siswa kelas 5 SD Negeri I Tamanan, Kalasan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik tes untuk data kemampuan awal dan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan KPK dan FPB. Teknik analisis yang digunakan adalah uji-t. Sebagai persyaratan analisis yaitu populasi berdistribusi normal yang diuji menggunakan uji Lilliefors dan populasi mempunyai variansi sama (homogen) yang diuji menggunakan metode Barlett. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran guru bidang studi matematika belum efektif diterapkan pada siswa kelas 5 (lima) sekolah dasar se-kecamatan Kalasan pada pokok bahsan KPK dan FPB. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji t yang diperoleh (tobs) sebesar 0,254 dimana daerah kritik unuk  = 207 pada taraf siginifikansi 5% (dua sisi) .
EFEKTIFITAS MODEL PEMBELAJARAN TEAM ACCELERATED INSTRUCTION PADA SISWA KELAS X SMK TUNAS HARAPAN TAHUN PELAJARAN 2008-2009 Sri Adi Widodo Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya prestasi belajar matematika yang dikarenakan persepsi negatif siswa terhadap matematika, kemampuan awal siswa sangat lemah, guru masih menggunakan model pembelajaran yang kurang menarik bagi siswa. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran lain diantaranya adalah TAI agar siswa menjadi tertarik dan prestasi belajar matematika menjadi meningkat. Sehingga dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model pembelajaran manakah yang efektif digunakan guru dalam pembelajaran matematika, model pembelajaran langsung (direct Instruction) atau Model Pembelajaran Team Accelerated Instruction (TAI). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 39 siswa yang terbagi menjadi 20 siswa sebagai kelompok kontrol dan 19 siswa sebagai kelompok eksperimen. Uji coba instrumen dilakukan menggunakan uji validitas, tingkat kesukaran, daya beda dan reliabilitas. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi untuk nilai UAN matematika SMP dan teknik tes untuk data prestasi belajar siswa pada pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan kuadrat. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kovariansi. Sebagai persyaratan analisis yaitu populasi berdistribusi normal yang diuji menggunakan uji chi square, populasi mempunyai variansi yang sama yang diuji menggunakan metode Barlett dan uji linieritas menggunakan uji F. Kesimpulan dalam penelitian adalah model pembelajaran kooperatif tipe TAI belum efektif digunakan pada mata pelajaran matematika pokok bahasan bahasan persamaan dan pertidaksamaan kuadrat tahun pelajaran 2008-2009. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kovariansi yang diperoleh sebesar (Fobs) 1,464 sedangkan daerah kritik uji F dengan V1 = 1 dan V2 = 36 pada taraf signifikansi 5% adalah {FF ≥ 4,11}. Kata kunci: Model pembelajaran, Direct Instruction, TAI, Kemampuan awal, Prestasi belajar

Jumat, 27 Januari 2012

Kamis, 21 April 2011

PERMASALAHAN PENGAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH MENENGAH DITINJAU DARI TEORI PERKEMBANGAN DAN TEORI BELAJAR

A. Pendahuluan
Pendidikan senantiasa merupakan beban dan tantangan bagi setiap negara yang tidak akan berhenti. Beban dan tantangan ini berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah kemajuan sains, kemajuan teknologi, pertumbuhan penduduk, dan keterbatasan dana. Semua orang menyadari adanya tantangan tersebut dan berusaha mengambil bagian dalam menanggulangi beban dan tantangan tersebut sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing.
Para pendidik matematika di sekolah menengah perlu untuk mengetahui permasalahan yang ada, dan perlu pula memahami perkembangan pendidikan matematika, minimal perkembangan tentang proses mengajar belajar yang sesuai dengan tuntutan dan harapan sekarang ini.
Ada beberapa masalah pokok yang perlu mendapat perhatian guru matematika sekolah menengah. Permasalahan yang akan dikemukakan ini adalah permasalahan yang bersifat umum, yaitu kualitas masukan sekolah, minat siswa terhadap matematika, pengajaran matematika di sekolah, dan pemahaman guru terhadap teori belajar.
Kualitas atau kemampuan siswa sekolah menengah dirasakan ada penurunan. Menurunnya kualitas pendidikan ini akan terasa kalau dibandingkan antara kemampuan siswa sekarang dengan kemampuan siswa sebelumnya, dan tidak mudah mengambil kesimpulan dalam menyalahkan kualitas ini. Masalah kualitas siswa di sekolah adalah masalah yang kompleks yang banyak menyangkut berbagai faktor.
Namun ada pula suatu kenyataan yang membanggakan bahwa dalam suasana sekarang ini banyak siswa yang mempunyai kualitas yang baik. Paul Suparno dalam J Drost (2006: x) menyatakan bahwa banyak siswa yang berprestasi di tingkat nasional maupun tingkat internasional seperti beberapa siswa Indonesia mendapatkan penghargaan medali emas pada Olimpiade Fisika dunia. Tetapi hal ini belum mampu untuk menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesai masih rendah.
Salah satu sebab utama kualitas siswa sekolah menengah pada umumnya menurun diantaranya adalah banyak anak kurang mampu untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dan guru tidak dapat lagi mempertahankan mutu mendidik seperti semula.
Matematika yang memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan yang akan mendatang, tetapi dewasa ini mata pelajaran matematika masih menjadi momok bagi kebanyakan siswa. Menurut Imam Subandi penyebab matematika masih menjadi masalah bagi anak didik diantaranya adalah kurangnya minat belajar matematika siswa, siswa masih menganggap bahwa matematika itu sulit dan tidak menyenangkan, dan guru juga kurang bervariasi dalam menyajikan materi matematika, bahkan tidak jarang siswa menganggap bahwa matematika adalah matik-matian.
Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Matematika diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, untuk perkembangan sain, dan untuk perkembangan teknologi. Akibatnya, matematika perlu diberikan sebagai bekal kepada setiap siswa sejak dari sekolah dasar. Namun di lain pihak, matematika pada hakikatnya adalah suatu ilmu yang penalarannya bersifat deduktif formal dan abstrak.
Siswa sekolah menengah pada umumnya sudah berusia 12 tahun, yang menurut teori perkembangan mental Peaget sudah pada taraf berpikir formal. Namun demikian tidak berarti guru matematika di sekolah menengah tidak perlu memperhatikan taraf operasi sebelum formal, sebab tidak jarang siswa sekolah menengah taraf berpikir formalnya belum tercapai.
Salah satu hal penting dari pembelajaran adalah memperkenalkan refleksi sebagai unsur yang esensial. Sampai saat ini mengajar berarti menyampaikan informasi atau memindahkan pengetahuan dari pengajar kepada pelajar. Para pelajar diajar dengan jelas dan bahan diterangkan dengan baik. Kemudian pelajar membuktikan bahwa apa yang telah diajarkan telah diserap. Untuk membuktikaan ini siswa cukup menyampaikan dengan hafalan saja. Padahal telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa belajar secara efektif hanya lewat interaksi pelajar dengan pengalaman yang dimiliki sebelum masuk kelas. Interaksi dengan pengalaman tidak hanya terjadi lewat menghafalkan saja tetapi juga dapat menggunakan refleksi.
Selama ini pembelajaran matematika di kelas masih mengikuti ritme pengajaran pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu: (1) penyajian definisi/aksioma/teorema, (2) penyajian contoh-contoh dan non-contoh, (3) mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan, dan (4) penugasan pekerjaan rumah. Dengan cara mengajar seperti ini pengembangan ketrampilan menghafalkan merupakan tujuan utama pengajaran. Hal ini terjadi karena guru memakai pola mengajar seperti guru mereka yang dulu, atau menurut pengalaman guru saat mereka menjadi siswa di sekolah. Hal ini juga disebabkan kurangnya pemahaman guru pada teori belajar maupun teori perkembangan.
Pada saat kuliah di LPTK, secara umum mahasiswa LPTK telah diberi bekal atau telah diberikan mata kuliah dasar-dasar kependidikan, seperti mata kuliah Landasan Pendidikan, Psikologi Pendidikan, dan Belajar dan Pembelajaran. Namun, karena dosen pengampu untuk mata kuliah-mata kuliah tersebut merupakan dosen pada bidang ilmu pendidikan dan bukan dosen pendidikan matematika, maka pada perkuliahannya masih bersifat umum, tidak langsung menyentuh pada proses pembelajaran pada mata pelajaran matematika. Sehingga tidak mengherankan jika banyak guru yang tidak mengetahui teori pembelajaran pada mata pelajaran matematika
Dari beberapa permasalahan pembelajaran matematika di sekolah menengah, pada tulisan ini akan dibahas tentang alternatif penyelesaian permasalahan pembelajaran matematika di sekolah menengah ditinjau dari pemahaman guru terhadap teori perkembangan dan teori belajar.

B. Kajian Pustaka
1. Teori Perkembangan
Teori perkembangan adalah teori yang membahas tentang psikologi manusia mulai dari pranatal sampai lanjut usia atau menjelang kematian. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Elizabet B. Hurlock (1999: 2) bahwa Psikologi perkembangan sebagai cabang ilmu psikologi menelaah pelbagai perubahan intra-individual dan perubahan-perubahan inter-individual yang terjadi di dalam perubahan intra-individual.
Kata perkembangan juga seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan dan kematangan. Ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pertumbuhan dan perkembangan pada dasarnya adalah suatu perubahan menuju ke tahap yang lebih tinggi atau lebih baik.
Ada beberapa perbedaan antara pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan lebih banyak berkenaan dengan aspek jasmaniah atau fisik, sedang perkembangan lebih banyak berkenaan dengan aspek rohaniah atau psikis. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh M. Dalyono (2001: 61) bahwa “Bagian pribadi materiil yang kuantitatif mengalami pertumbuhan, sedangkan bagian pribadi fungsional yang kualitatif mengalami perkembangan”.
Baik pada pertumbuhan maupun pada perkembangan tersangkut pula perihal kematangan, yang merupakan masa yang terbaik bagi berfungsinya atau berkembangnya dengan cepat aspek-aspek kepribadian tertentu. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Ahmad Fauzi (1999: 73) bahwa “Dalam proses perkembangan rohani terjadi perubahan yang terus menerus, tetapi perkembangan itu tetap merupakan suatu kesatuan”. Sedangkan Oemar Hamalik (1992: 85) menyatakan “Perkembangan sebagai fungsi interaksi antara organisme dengan lingkungan”.
2. Tahap-Tahap Perkembangan
Nana Syaodih Sukmadinata (2005: 117-119) menyatakan tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
a. Aristoteles membagi masa perkembangan menjadi tiga tahap, yaitu: masa kanak-kanak (0-7 tahun), masa anak (7-14 tahun), dan masa remaja (14-21 tahun).
b. Jean Jacques Rousseau membagi perkembangan menjadi empat tahap, yaitu: masa bayi (0-2 tahun), masa kanak-kanak (2-12 tahun), masa remaja awal (12-15 tahun), dan masa remaja sesungguhnya (15-24 tahun).
c. Stanley Hall membagi perkembangan anak empat tahap, yaitu: masa kanak-kanak(0-4 tahun), masa anak (4-8 tahun), masa puber atau remaja awal (8-12 tahun), dan masa adolesen atau remaja sesungguhnya (12/13 tahun sampai dewasa).
d. Donald B. Helms dan Jeffry S. Turner memberikan urutan lengkap dari perkembangan individu, yaitu: masa pranatal atau sebelum lahir, masa bayi (0-2 tahun), masa kanak-kanak (2-3/4 tahun), masa anak kecil (3/4-5/6 tahun), masa anak (6-12 tahun), masa remaja(12-19 tahun), masa dewasa muda (19-30 tahun), masa dewasa (30-65 tahun), dan masa usia lanjut (setelah 65 tahun).
e. Sigmund Freud mengemukakan tahap-tahap perkembangan berdasarkan perkembangan seksual, yaitu: masa oral (0-2 tahun), masa anal (2-4 tahun), masa falik (4-6 tahun), masa latency (6-12 tahun), dan masa genital (setelah 12 tahun).
f. Jean Piaget mengemukakan perkembangan kognitif atau kemampuan berpikir atas lima tahap, yaitu: tahap sensori motor (0-2 tahun), tahap pra operasional (2-7 tahun) yang terbagi atas dua tahap yaitu tahap pra konseptual (2-4 tahun) dan tahap pemikiran intuitif (4-7 tahun), tahap operasi konkrit (7-11 tahun), dan tahap operasi formal (setelah 11 tahun).
Dari tahap-tahap perkembangan di atas terlihat bahwa siswa sekolah menengah secara fisik merupakan masa remaja atau masa puber, secara seksual merupakan masa genital, dan secara kognitif sudah pada tahap berfikir formal. Seperti dikemukakan oleh Abu Hanafi dan Munawar Sholeh (2005: 41) bahwa “Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja”.
Lebih lanjut Ahmad Fauzi (1999: 90-92) membagi masa usia sekolah menengah sebagai berikut:
a. Masa pra remaja, yaitu suatu masa yang berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat. Masa ini ditandai oleh sifat-sifat negatif remaja, sehingga masa ini juga disebut masa negatif. Berbagai gejala yang bisa dianggap negatif pada mereka adalah negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, negatif dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dari masyarakat maupun bentuk agresif terhadap masyarakat.
b. Masa remaja, yaitu masa kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, dan teman yang dapat turut merasakan suka dan dukanya. Disini mulai tumbuh dalam diri remaja dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang dapat dipandang bernilai. Pada masa inilah remaja mengalami kegoncangan batin sebab tidak mau menggunakan pedoman hidup kanak-kanaknya, tetapi belum mempunyai pedoman hidup yang baru. Proses terbentuknya pedoman hidup dipandang sebagai penemuan nilai-nilai hidup di dalam explorasi remaja.
c. Masa remaja akhir, yaitu terjadi setelah remaja menemukan sistem nilai yang diikutinya dan telah dapat menentukan pendirian hidupnya. Pada dasarnya telah tercapai masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan masa remaja, yaitu menemukan pendirian hidup dan masuk dalam masa dewasa awal.
3. Teori Belajar
Pemahaman guru terhadap pengertian dan makna belajar sangat berpengruh terhadap tindakan guru dalam membimbing siswa untuk belajar. Guru yang hanya memahami bahwa belajar adalah proses transfer ilmu atau pengetahuan kepada anak didik tentu akan berbeda dengan pemahaman guru yang memahami bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku. Sehingga guru perlu untuk mengetahui dan memahami pengertian belajar dan teori belajar.
a. Behaviourisme
Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 2) menyatakan bahwa ada dua pendekatan psikologis dalam melihat proses belajar, yaitu pendekatan connectionist or behaviorist dan pendekatan cognitive or cognitive field”. Pendekatan behavior melihat proses belajar sebagai proses terjadinya hubungan antara stimulus atau rangsangan dengan respon atau jawaban atau antara respon dengan penguatan (reinforcement), sedangkan pendekatan kognitif melihat proses belajar tidak semata-mata hasil hubungan stimulus dan respon tetapi lebih merupakan hasil dari kemampuan mental individu dalam melakukan fungsi-fungsi psikologis seperti konsep dan ingatan, atau dengan perkataan lain pendekatan behavior menekankan unsur di luar diri individu (lingkungan) sedangkan pendekatan kognitif menitikberatkan pada potensi dari individu.
Tokoh teori behaviourisme diantaranya adalah Ivan petrovich Pavlov dengan teori Classical Conditioning, Edward L. Thordike dengan teori The Law of Effect, dan Baron F. Skiner dengan teori Operant Conditioning.
Menurut Oemar Hamalik (1992: xx) teori yang dikemukan oleh Ivan Petrovich Pavlov menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang awalnya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan stimulus dengan respons, stimulus yang tidak memadai untuk menciptakan respons mampu menimbulkan respons.
Menurut Sumadi Suryabrata (1987: 271), teori The Law of Effect yang dikemukakan oleh Edward L. Thordike menunjukkan bahwa makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat dari hasil respon yang dilakukan. Apabila suatu hubungan (koneksi) ditandai (diikuti) oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu hubungan (koneksi) dibuat dan disertai (diikuti) oleh keadaan yang kurang memuaskan maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
Salah satu teori yang mengacu pada pendekatan tingkah laku atau behavior adalah Skinner yang mengemukakan teori Operant Conditioning. Skiner dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 3) menyatakan bahwa belajar melibatkan tiga tahapan yaitu pertama Hadirnya stimulus atau situasi (S) yang diharapi individu, Kedua Perilaku atau behavior (B) yang lahir dari diri individu, dan ketiga Penguatan atau reinforcement (R) yang mengikuti perilaku tersebut.
b. Kognitivisme
Bruner dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 3) mengungkapkan bahwa belajar bukan semata merupakan unit perilaku yang pasif yang terlahir akibat stimulus, tetapi merupakan proses aktif dimana individu menggunakan prinsip dan hukum dan menerapkannya. Hal ini menunjukkan bahwa proses belajar bukan hanya terjadi pada diri individu seperti dalam model operant conditioning tetapi merupakan suatu proses dimana individu sendiri sengaja membuat hal itu terjadi melalui proses menerima dan menggunakan informasi.
Selain itu Gagne dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 3) berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh variabel dalam diri individu dan dari luar individu yang saling berinteraksi. Hal ini menunjukkan bahwa Gagne menganut kedua pendekatan, yaitu pendekatan tingkat laku atau behavior dan pendekatan kognitif. Lebih lanjut Gagne dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1994: 3) merinci proses belajar menjadi delapan jenis belajar yaitu:
a. Signal Learning atau Belajar Isyarat.
b. Stimulus-Response Learning atau Belajar Stimulus-Respon.
c. Chaining Learning atau Belajar Rangkaian.
d. Verbal Association Learning atau Belajar Asosiasi Verbal.
e. Discrimination Learning atau Belajar Membedakan.
f. Concept Learning atau Belajar Konsep.
g. Rule Learning atau Belajar Hukum atau Aturan.
h. Problem Solving atau Belajar Pemecahan Masalah.
c. Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme tidak sependapat dengan anggapan bahwa ilmu pengetahuan atau pengetahuan umumnya dapat ditransfer atau dipindahkan dari pikiran seseorang kepada pikiran orang lain. Tetapi menurut Paul Suparno (2001: 122) aliran konstruktivisme adalah teori yang berpendapat bahwa pengetahuan perlu dikonstruk atau dibangun sendiri oleh siswa yang ingin atau perlu memahaminya.
Sedangkan Kauchak dalam Dede Rosyada (2004: 94) mengemukakan bahwa Konstruktivisme adalah teori yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat komponen kunci, yaitu (1) Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan kepada mereka, (2) Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya, (3) Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial, dan (4) Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran.
Menurut Wilson, dkk dalam Herman Hudoyo (2005: 100) paradigma konstruktivis yang mendasari desain pembelajaran konstuktivisme adalah (1) Mental sebagai representasi internal dari realita luar, (2) Pengetahuan diposisikan dalam mental individu, (3) Makna secara internal dikonstruk, (4) Refleksi dan abstraksi individu adalah utama, (5) Pembelajaran berarti kostruksi yang dinegosiasikan dari makna.
Salah satu prinsip pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah pendidikan berpusat pada siswa yang mengupayakan kemandirian siswa untuk belajar, bekerja sama, dan menilai diri sendiri agar mampu mengkonstruk kemauan, pemahaman, dan pengetahuannya. Hal ini menunjukkan bahwa KBK menekankan pembelajaran dengan menggunakan aliran konstruktivisme, yang memberikan hal yang baru pada dunia pen-didikan di Indonesia. Aliran konstruktivisme menggeser pusat kegiatan pembelajaran, tidak lagi berpusat pada guru tetapi berpusat pada anak didik. Diharapkan keseimbangan dan ketepatan kegiatan antara guru dan anak didik serta antara sarana dan lingkungan akan dapat terwujud sehingga pada akhirnya akan menguntungkan pendidikan anak didik.

C. Implikasi Teori Perkembangan dan Teori Belajar pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah
1. Perlukah Teori Perkembangan
Karena siswa sekolah menengah termasuk masa remaja, yaitu masa kebutuhan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, dan teman yang dapat turut merasakan suka dan dukanya, maka guru perlu untuk lebih memperhatikan kebutuhan psikis siswa. Dalam pembelajaran matematika dapat dipilih model pembelajaran kooperatif. Hal ini menunjukkan bahwa guru perlu dan wajib mengetahui teori perkembangan.

2. Perlukan Teori Belajar
Belajar adalah aktifitas mental. Otak menerima informasi untuk mengkreasikan informasi baru dan kemudian memungkinkan informasi tersebut dipanggil kembali. Informasi yang diterima perlu disimpan dalam otak sehingga bila diperlukan dapat dipresentasikan kembali.
Siswa telah mempunyai sesuatu dalam benaknya sebelum diajarkan matematika. Hal ini berarti benak siswa tidak kosong sama sekali. Oleh karena itu, informasi matematika yang akan diajarkan kepada siswa tidak begiti saja dapat ditangkap atau dipahami siswa dengan baik walaupun guru telah mencoba menyusun langkah-langkah pengajaran dengan sistematika dan logis. Pengalaman menunjukkan guru selalu kecewa dengan pencapaian siswa, kesalahan dilemparkan kepada siswa bahwa siswa tidak serius, kemauan belajar minim atau malas.
Dari hal di atas, nampak bahwa dalam pembelajaran matematika guru perlu memperhatikan teori belajar yang mendasari bagaimana guru akan mengajarkan matematika. Alternatif teori belajar yang dapat digunakan oleh guru sebaiknya menyesuaikan materi pelajaran maupun kemampuan guru sendiri.
3. Metode Mengajar Matematika
Metode mengajar matematika merupakan cara guru menyampaikan konsep/prinsip matematika sehingga diharapkan siswa dapat memahami konsep/prinsip yang disajikan.
Alternatif metode mengajar yang dilaksanakan misalnya ceramah/ekspositori, diskusi, belajar mandiri, dan laboratorium. Yang penting adalah terjadinya belajar yang efektif. Belajar efektif terjadi bila siswa aktif terlibat dalam mengorganisasikan dan menemukan lebih hubungan-hubungan dalam informasi-informasi yang siswa peroleh dari pada penerimaan pasif sejumlah informasi dari guru. Kegiatan ini akan menghasilkan tidak hanya mengembangkan belajar dari pada materi pelajaran. Untuk itu, salah satu alternatif metode pembelajaran adalah metode diskusi atau belajar kooperatif dengan memperhatikan pengetahuan atau kemampuan awal siswa supaya siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya.
4. Pembelajaran Konstruktif
Yang perlu mendapatkan perhatian guru matematika saat ini adanya oeubahan paradigma dari mengajar ke belajar. Paradigma belajar tidak cukup siswa belajar dengan instruksi guru dalam mentransfer pengetahuan ke siswa, tetapi siswa perlu mengkonstruksi matematika yang dipelajari.
Guru matematika konstruktivis adalah guru yang mengkonstruksi teori pembelajaran dengan merefleksikan bagaimana guru menggunakan dan membentuk matematika. Hal ini berarti guru dituntut mempunyai kemampuan untuk melihat bagaimana mengetahui persepsi matematika siswa yang telah dan akan dipelajari siswa, termasuk dalam menggunakan bahasa, kemampuan mengapresiasi ide siswa yang dapat dinalar dan membangunnya ke dalam pembelajaran.
Agar siswa dapat membangun pemahamannya terhadap konsep/prinsip matematika perlu adanya bantuan orang lain, misalnya guru atau temannya yang lebih mampu, sehingga perlu adanya saling bernegosiasi secara mental antara siswa dan guru serta antara siswa dan siswa. Dalam pembelajaran konstruktif, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Siswa terlibat aktif dalam belajarnya, siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir, dan siswa belajar bagaimana belajar itu.
b. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan informasi yang telah dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi(materi) kompleks terjadi.
c. Oreintasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Kondisi lingkungan belajar konstruktif penting, namun tidak secara otomatis menghasilkan belajar konstruktif. Siswa perlu mengembangkan keyakinan dan kebiasaannya dalam belajar sehingga kemampuan ketrampilan kognitif siswa berkembang. Seperti yang dikemukakan oleh Herman Hudoyo (2005: 20-21) tentang hal-hal yang dapat dilakukan (diupayakan) untuk mendukung lingkungan belajar diantaranya (1) menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan, (2) menyediakan berbagai aternatif pengalaman belajar, tidak semua siswa mengerjakan tugas yang sama, (3) mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret, (4) mengintegrasikan pembelajaran sehingga terjadi transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, (5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif, (6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mempunyai motivasi untuk belajar.



D. Penutup
1. Simpulan
a. Guru perlu dan wajib mengetahui tentang teori perkembangan dan teori belajar.
b. Karena siswa sekolah menengah pada masa remaja, dalam pembelajaran matematika perlu dikembangkan dan digunakan pembelajaran kooperatif.
c. Karena siswa telah memiliki kemampuan awal, pembelajaran konstruktif dapat dipakai sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika di sekolah menengah.
2. Saran
a. Guru matematika sekolah menengah sebaiknya mempelajari teori perkembangan dan teori belajar untuk lebih dapat mengefektifkan pembelajaran di kelas.
b. Sekalipun pada pembelajaran matematika di sekolah menengah idealnya menggunakan pendekatan konstruktif atau pendekatan kognitif, guru dapat pula menggunakan pendekatan behaviour/tingkat laku menyesuaikan dengan materi pelajaran maupun tujuan pembelajarannya.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ahmad Fauzi. 1999. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Elizabet B. Hurlock. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Guruvalah. tt. Orientasi baru dalam psikologi belajar. http://www.guruvalah.tk

H.M. Surya, dkk. 2007. Kapita Selekta Kependidikan SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Imam Subandi. tt. Makalah: Pembelajaran Interaktif Berbasis Multimedia Di Sekolah Dasar.

J. Drost. 2006. Dari KBK sampai MBS. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

M. Dalyono. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Oemar Hamalik. 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Paul Suparno. 2001. Teori Perkembanga Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Sumadi Suryabrata. 1987. Psikologi pendidikan. Jakarta: Rajawali pers.

Udin S. Winataputra dan Tita Rosita. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Selasa, 21 Oktober 2008

MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

A. Latar Belakang Permasalahan

Salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah adalah matematika. Matematika merupakan ilmu yang bersifat universal yang mendasari perkembangan teknologi modern. Artinya, matematika mempunyai peranan yang sangat penting dalam berbagai disiplin ilmu serta memajukan daya pikir manusia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan yang pesat di bidang teknologi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang bilangan, aljabar, analisis, teori peluang. Untuk dapat menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak usia dini. Sehiggga berangkat pada persepsi tersebut mata pelajaran matematika diberikan kepada semua peserta didik sejak dari Sekolah Dasar (SD) untuk membekali siswa agar mempunyai kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta memiliki kemampuan bekerjasama.

Prestasi matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari laporan yang dipublikasikan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) menuliskan bahwa bahwa rata-rata skor matematika siswa tingkat 8 (tingkat II SLTP) di Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional dan berada pada ranking 34 dari 38 negara (Zainurie, 2007). Tidak hanya itu menurut Suryanto dan Somerset dalam Sahat Saragih (tt: 2), yang melakukan penelitanterhadap 16 SLTP pada beberapa propinsi di Indonesia menemukan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa sangat rendah, terutama pada soal-soal cerita matematika (aplikasi matematika).

Matematika memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan mendatang, tetapi dewasa ini mata pelajaran matematika masih menjadi momok bagi kebanyakan siswa. Menurut Imam Subandi penyebab matematika masih menjadi masalah bagi anak didik diantaranya adalah kurangnya minat belajar matematika siswa, siswa masih menganggap bahwa matematika itu sulit dan tidak menyenangkan, dan guru juga kurang bervariasi dalam menyajikan materi matematika. Sedangkan Menurut Zainurie (2007) penyebab siswa mengalami kesulitan belajar matematika adalah matematika mempunyai objek yang bersifat abstrak, Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Selain itu belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah. Sehingga kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real.

Pada bulan-bulan menjelang UAN dan UMPTN, adalah musimnya orang tua mulai mencemaskan anak didiknya. Kecemasan orang tua dikarenakan adanya ketakutan menerima kenyataan bahwa anaknya dinyatakan tidak lulus sekolah. Sehingga berangkat dari kecemasan tersebut orang tua mulai berpikir dengan mengikutsertakan anaknya ke bimbingan belajar.

Sementara itu, di pihak anak sendiri tidak terlihat ada kegelisahan atau kecemasan pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Sebagian besar anak didik memang ingin lulus UAN bahkan mereka juga mengharapkan untuk dapat diterima pada Universitas-universitas favorit, tetapi mereka tidak membayangkan bahwa persaingan yang harus dihadapinya sangat ketat.

Tidak adanya perasaan kegelisahan tersebut lebih terlihat lagi dengan tidak adanya persiapan yang serius. Sebagian besar anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), bahkan anak didik seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus tanpa harus bersusah payah untuk belajar.

Dengan kondisi tersebut, menunjukan bahwa minat anak terhadap pelajaran-pelajaran di sekolah terutama matematika sangat menurun. Sehingga perlu adanya cara untuk meningkatkan kembali motivasi mereka terhadap belajar matematika.

B. Kajian Pustaka

1. Motivasi belajar

Menurut M. Sobry Sutikno (2008: 1) motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi tercapainya tujuan. Motivasi belajar dapat diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan belajar dapat tercapai. Namun pada intinya motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sehingga motivasi belajar matematika adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang mempelajari matematika.

Motivasi terdiri dari dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang muncul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul sebagai akibat pengaruh dari luar individu.

Menurunnya motivasi belajar siswa terhadap pelajaran matematika, khususnya di sekolah-sekolah SMK, diantaranya:

a. Belajar di Dunia Usaha/Dunia Industri

Bagi siswa SMK Belajar di Dunia Usaha/Dunia Industri merupakan sebuah kewajiban. Lamanya pembelajaran di DU/DI tergantung pada kebijakan tiap-tiap sekolah. Beberapa SMK memberlakukan Belajar di Dunia Usaha/Dunia Industri selama 3 bulan, 6 bulan, bahkan adapula yang mencapai satu tahun. Waktu pemberangkatan (penerjunan) siswa ke Dunia Usaha/Dunia Industri tiap sekolah juga mempunyai kebijakan tersendiri. Beberapa SMK memberangkatkan siswa ke Dunia Usaha/Dunia Industri semenjak kelas X semester 2 akhir, kelas XI, bahkan ada beberapa siswa yang baru diberangkatkan ke DU/DI kelas III semester I awal.

Siswa selama berada di DU/DI tidak diperkenankan untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah, tetapi anak didik dituntut untuk mengikuti pola kehidupan di DU/DI. Otomatis selama siswa mengkuti belajar Dunia Usaha/Dunia Industri siswa tidak diperkenankan untuk mengikuti pemnebelajaran di sekolah.

b. Persepsi siswa terhadap matematika

Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi kebanyakan siswa, pelajaran yang menyebalkan, merasa pusing bila disuruh mengerjakan soal-soalnya dan sangat kesulitan untuk memahaminya. Bahkan tidak jarang saat pelajaran matematika serasa berada di gurun pasir yang panas tidak ada airnya. Tidak hanya itu matematika dipelesetkan menjadi matik-matian. Hal ini dikarenakan siswa selalu mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal-soal matematika walaupun soal yang diberikan oleh guru matematika masih tergolong sangat mudah seperti – 3 – 4.

Begitu pula persepsi siswa terhadap guru yang mengajar matematika. Rata-rata anak didik beranggapan bahwa guru matematika adalah seseorang yang galak, pemarah, suka memukul siswanya, wajahnya jelek, botak, selera humornya kurang bahkan tidak punya sama sekali, jika menjelaskan materi selalu mbulet-mbulet tidak ada rumus praktisnya dan jika memberikan nilai pasti pelit.

2. Realistic Mathematics Education (RME)

Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dapat dilakukan dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.

Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Sedangkan Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) .

Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu (1) Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri. Pembelajaran diawali dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks. (2) Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal. (3) Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. (4) Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

3. Karakteristik RME

Karakteristik RME adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Van den Heuvel-Panhuizen,1998).

a. Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”

Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah-masalah yang kontekstual atau “dunia nyata”, sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematikan dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000)

b. Menggunakan Model-model (Matematisasi)

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.

c. Menggunakan Produksi dan Konstruksi

Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.

d. Menggunakan Interaktif

Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

e. Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)

Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.

C. Pembahasan

1. Matematika Realistik (MR)

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran MR di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.

Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.

Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).

2. Pembelajaran Matematika Realistik (MR)

Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Dalam hal ini, guru hanya bertindak atau berperan sebagai fasilitator.

Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.

Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism). Siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.

Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention). Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah.

Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam pembelajaran matematika.

3. Bagaimana Implementasi Pembelajaran MR?

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR, berikut ini diberikan contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Pecahan di SD diinterpretasi sebagai bagian dari keseluruhan. Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian yang berukuran sama. Dalam hal ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang, dan model volume. Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide pempartisian suatu himpunan dari objek diskret.

Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke “situasi” informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).

Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan MR) di mana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.

4. Kaitan antara Pembelajaran MR dengan Pengertian

Kalau kita perhatikan para guru dalam mengajar matematika senantiasa terlontar kata “bagaimana, apa mengerti ?” Siswa pun biasanya buru-buru menjawab mengerti atau sudah. Siswa sering mengeluh seperti berikut, “Pak … pada saat di kelas saya mengerti penjelasan Bapak, tetapi begitu sampai di rumah saya lupa”, atau “Pak … pada saat di kelas saya mengerti contoh yang Bapak berikan , tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal latihan” Apa yang dialami oleh siswa pada ilustrasi di atas menunjukkan bahwa siswa belum mengerti atau belum mempunyai pengetahuan konseptual. Siswa yang mengerti konsep atau mempunyai pengetahuan konseptual dapat menemukan kembali konsep yang mereka lupakan.

Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses.

Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter , 1992). Umumnya, sejak anak-anak orang telah mengenal ide matematika. Melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola, bentuk, data, ukuran dsb. Anak sebelum sekolah belajar ide matematika secara alamiah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa datang ke sekolah bukanlah dengan kepala “kosong” yang siap diisi dengan apa saja.

Pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui anak. Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui sekolah, jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka.

Hanna dan Yackel (NCTM, 2000) mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat ditingkatkan melalui interaksi kelas. Percakapan kelas dan interaksi sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan mengorganisasikan pengetahuan kembali.

Pembelajaran MR memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan cara-cara informal untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan pengkonstruksian konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema (jaringan representasi) anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan menjadi lebih kuat sehingga pengertian siswa tentang konsep yang mereka konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan demikian, pembelajaran MR akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.

D. Simpulan dan Saran

Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai simpulan dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut. Matematika Realistik (MR) merupakan matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.

Pembelajaran MR menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran, dan melalui matematisasi horisontal-vertikal siswa diharapkan dapat menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan menerapkan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Dengan kata lain, pembelajaran MR berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying mathematics), sehingga siswa belajar dengan bermakna (pengertian).

Pembelajaran MR berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru tentang mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika realistik. Sesuai dengan simpulan di atas, maka disarankan:

(1) kepada pakar atau pencinta pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-penelitian yang berorientasi pada pembelajaran MR sehingga diperoleh global theory pembelajaran MR yang sesuai dengan sosial budaya Indonesia, dan

(2) kepada guru-guru matematika untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran MR secara bertahap, misalnya mulai dengan memberikan masalah-masalah realistik untuk memotivasi siswa menyampaikan pendapat.

Silahkan dicari yaaaaaaa....!!!!!!!!!!!!!!!

Atwel, Bleicher & Cooper.1998. “The Construction of The Social Contex of Mathematics Clasroom : A Sociolonguistic Analysis”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol 29 No.1 January 1998.hal 63-82

Cinzia Bonotto. 2000. Mathematics in and out of school : is it possible connect these contexts ? Exemplification from an activity in primary schools. http://www.nku.edu/~sheffield/bonottopbyd.htm

Cobb,Yackel & Wood.1992.”A Constructivist Alternative to The Representational View of Mind in Mathematics Education”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.23. No.1 January 1992. hal. 2-33 .

Davis. 1996. “One Very Complete View (Though Only One) of How Children Learn Mathematics ” Dalam Journal for Research in Mathematics Education Vol.27. No.1 January 1996. hal. 100-106

De Lange. 1987. Mathematics Insight and Meaning. OW & OC. Utrecht

Ernest,P. 1991. The Philosopy of Mathematics Education. London : Falmer Press

Gravemeijer. 1994. Developing Realistics Mathematics Education. Freudenthal Institute. Utrecht.

Hiebert, J & Thomas Carpenter. 1992. “Learning and Teaching With Understanding” Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York : Macmillan

Jennings, Sue & R, Dunne.1999. Math Stories,Real Stories, Real-life Stories. http://www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/actar01.htm.

Mitzel, H.E. 1982. Encyclopedia of Educational Research (Fifth Ed). New York : Macmillan NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics.USA : NCTM Price,J. 1996. “President’s Report : Bulding Bridges of Mathematical Understanding for All Children” . Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5 November 1996. hal. 603-608

Soedjadi. 2000. “Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah Di Indonesia”. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000)

Slavin,R. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition.Boston : Allyn and Bacon.

Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context”. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000 Streefland,L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary School. Freudenthal Institute: Utrecht.

Taylor. 1993. ”Vygotskian Influences in Mathematics Education With Particular Refrences to Attitude Development”. Dalam Jurnal Focus on Learning in Mathematics.Vol 15 No. 2 hal.3-17. TIMSS. 1999. International Student Achievement in Mathematics. http://timss.bc.edu/timss 1999i/pdf/T99i_math_01.pdf

Treffers.1991. “Didactical Background of a Mathematics Program for Primary Education”. Dalam Realistic Mathematics Education in Primary School. Freudenthal Institute: Utrecht.

Van den Heuvel-Panhuizen. 1998. Realistic Mathematics Education Work in Progress. http://www.fi.nl/ ……2000. Mathematics Education in the Netherlands a Guided Tour. http://www.fi.uu.nl/en/indexpulicaties.html.

Van Reeuwijk, Martin. 1995. The Role of Realistic Situations in Developing Tools for Solving Systems of Equations. www.fi.uu.nl/en/indexpublicaties/3781.pdf

Wilson, Teslow, Taylor.1993. “Instruction Design Perspectives on Mathematics Education With Refrences to Vygotsky’s Theory of Social Cognition”. Focus on Learning Problem in Mathematics.Vol 15.No 2 &3. hal. 65-84

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publishing

I Gusti Putu Suharta, Dosen Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Negeri Singaraja Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 38, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang – Depdiknas

Djamarah, Drs. Syaiful Bahri. Zain, Drs. Aswan, Strategi Belajar mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grasindo.

Jumbadi. 2005. Strategi Pelaksanaan Program Tutorial Sebaya dalam Pembelajaran Matematika di SMA. Widya Tama Vol. 2 No. 3:25.

Rustantoro, Tuwuh. 2005. Penyiapan Bahan Ajar Multimedia Pembelajaran (Fisika). Semarang: LPMP Jawa Tengah.

Suparno, Drs. Paul. 1997.Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yokyakarta: Kanisius

Setiawan, Didag. 2004. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas Vol. 10 tahun 2004.

Soepena, 2003. Belajar dengan CD-ROM, suatu Lompatan dalam pendidikan. Jakarta: Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas Vol. 8 Tahun 2003.

Yusuf, 2003, Proses dan Hasil Belajar Biologi melalui Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.